Islam dan Paradigmanya Di Indonesia Saat Ini

Penulis : Ale Thalib


Aktivis perubahan sosial



Politik adalah fitrah didalam Islam yang kuat tertanam dan tidak mungkin dipisahkan. Politik menjadi kadar yang dikhususkan secara teladan, serta menjadi paradigma distingtif di dalam Islam.
Pada ajaran Islam, politik menjadi emansipasi yang melahirkan teknis, metode, serta teori bernegara yang disesuaikan dengan kerangka dialektika dalam menentukan kualitas serta nilai disiplin pada kebijakan-kebijakan negara yang disesuaikan dengan prinsip Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, keadilan, serta kesejahteraan manusia. Artinya, Islam sebagai suatu desain politik dalam mengawal kepentingan publik.

Di Indonesia, formulasi Islam sebagai identitas telah digencarkan pasca Orba. PPP yang berubah logo dari bintang menjadi Ka'bah, terbentuknya PKB, PAN, PKS, PBB sebagai instrumen-instrumen elektoral yang bertahan sampai saat ini selaku kendaraan politik dengan menggunakan mesin Islam sebagai penggeraknya. Dan pada sisi ordinansi publik, di era reformasi, Islam dijadikan sebagai regulasi dengan ditelurkannya ratusan Perda syariah. Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan adalah provinsi yang paling banyak mengeluarkan aturan-aturan Islami.

Selain itu, Islam didorong menjadi mode kultural yang ditandai dengan munculnya perilaku konsumsi masyarakat Islam, melalui makanan hingga fashion islami, bahkan sampai kecenderungan pada perbankan syariah.

Dua tahun terakhir ini, Islam di Indonesia menjadi trend politik, dan menjadi argumen politik publik yang menghasilkan turbulensi sosial ditengah intensitas dan mengglobalnya peyoratifisasi Islam.

Tajamnya, Islam menjadi narasi politik di Istana dan berkembang menjadi tuduhan adanya peradikalan Islam ideologikal secara nasional, yang dimana tuduhan itu seolah telah terjadinya pensetujuan afirmasi politik masyarakat Islam Indonesia terhadap adopsi khilafah sebagai hukum positif negara.

Tepatnya pada tanggal 24 Maret 2017, Presiden Jokowi membuat pernyataan melalui pidatonya yang menghimbau agar agama harus dipisahkan dari politik dan hukum di Indonesia.
Melalui pernyataan Presiden Jokowi tersebut, menggambarkan bahwa Istana memiliki persepsi terhadap agama adalah sebagai sebuah fungsionalisme-struktural, yang dimana artinya menempatkan masyarakat sebagai ketergantungan agama, dan bukan mengartikan agama sebagai ketergantungan masyarakat.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut, memunculkan sangkaan, entah dari kalangan agamawan/ulama hingga masyarakat akar rumput, sebagai upaya sekulerisasi, dan mengkategorikan pernyataan itu sebagai sebuah retorika politik yang telah bergeser dari basis filosofi ideologi Pancasila, yang dimana sila pertama Pancasila meng-cover empat sila lainnya.

Disaat derasnya arus politik identitas Islam, dan demi menghindari ketersinggungan, Presiden Jokowi harusnya menyodorkan wawasan Islamisme yang jelas bersangkutan erat dengan nasionalisme. Bukan justru menyuntik virus alergi terhadap agama ditengah Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.

Mudah-mudahan didepan nanti, Indonesia menemukan pemerintahan yang lebih mengutamakan persatuan bangsa, dan mendahulukan kendali kooptasi politik dari oligarki.

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe