Nyunggi - Nyunggi Wakul
Setiap tembang
dolanan anak akan selalu mempunyai nilai filosofi yang sangat tinggi. Karya
agung para sesepuh yang sangat peduli dengan kebudayaan sebuah bangsa ini selalu
diwariskan secara turun-temurun. Ketika Kanjeng Sunan Kalijaga muncul sebagai
sosok yang sangat religius, masyarakat mulai berduyun-duyun memeluk Islam,
tentu beliau tidak langsng turun gunung nuturi
orang sampai ke plosok desa. Ia mempunyai banyak murid terkemuka, sekalipun
sentuhan tangan dinginnya hampir semua anak dan keturunan prabu Brawijaya V
beliau tata untuk memimpin tanah perdikan setelah kehancuran Majapahit.
Gundhul
Pacul, Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Jamuran, dan
sejenisnya merupakan buah karya orang-orang yang mengemban missi Rosululloh
Muhammad Saw untuk memperluas ajaran Islam. Tidak harus dengan cara arab,
menerangkan isi Al-Qur’an, Hadist, hingga sampai pendapat para ulama’
terdahulu. Orang Jawa bukan berarti tidak faham mengenai Al-Qur’an dan beberapa
buku refrensi mengenai Islam secara linier, melainkan budaya yang mengedepankan roso, bahwa Islam tidak harus Arab bisa
diterapkan dan di sebarluaskan oleh Walisongo dalam waktu yang sangat singkat.
Hampir semua lelemen masyarakta tersentuh oleh ajaran para Walisongo melalui
tembang dolanan.
Proses dari penciptaan sebuah lagu atau tembang tidak serta merta mereka lakukan secara spontan, ada beberapa tahapan pertimbangan mengenai itu semua. Dilihat dari sisi geografis wilayah dan kebudayaan setempat, para Wali tidak hanya berperan dalam tataran Islam, melainkan jga aktif terlibat dalam hal bernegara. Bedol Negoro dari Majapahit settingnya Hindu-Budha, dialihkan menjadi kerajaan Islam Demak Bintoro mereka melakuan beberapa semulasi untuk memadukan kedua tantangan besar, yaitu Islam dan Kerajaan. Ketika Majapahit Rajanya bergelar Prabu, sejak Demak Rajanya bergelar Sultan. Ada peristiwa besar diantara peraduan Islam sebagai ajaran baru dan bentuk negara dari kehancuran Majapahit.
Pribumi sebagai tuan
rumah utama tanah Jawa hanya mau ikut ketika imam, pemimpin, dan sopirnya itu
seorang Brahmana. Karena struktur masyarakat Jawa sejak Hindhu-Budha sudah
dikenalkan dengan Brahmana, Kesatria, Sudra, dan Weisya. Masing-masing ada
peranan dan fungsi tersendri. Sehingga pribumi mau menerima ketika tingkatan
sudah Brahmana, sebab mereka pecaya akan membawa suatu jalan untuk menuju Tuhan
sesuai dengan jalur ajaran agama.
Setiap orang
mempunyai tugas dan kewajiban yang harus dijalankan, baik itu setiap detik,
menit, jam, hari, dan seterusnya. Dengan pembagian waktu berbeda yang harus
menyesuaikan dalam keadaan tertentu. Tugas utamanya adalah sebagaimana
peristiwa ketika Adam AS diturunkan ke Bumi untuk mencari Tuhannya kembali.
Dalam proses itulah setiap manusia mempunyai cara untuk menemukan jalan pulang.
Ketika melihat aktivitas sosial sehari-hari ada yang berdagang, pegawai kantor,
kuliah, mengajar dan seterusnya, itu merupakan bagian dari kewajiban yang harus
dijalankan. Zaman kita sungguh sanggat dimudahkan dengan adanya buku petunjuk
berupa ayat Allah Swt yaitu Al-Qur’an dan saudara alam semesta, coba bayangkan
ketika Mbah Adam dahulu belum ada
apa-apa, hanya diperintah oleh Tuhan utnuk menemukan-Nya kembali. belum lagi
ada sang penggoda yang bernama Iblis.
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban utama ada lagi pembagian secara spesifik. Ketika kita Allah memerintah untuk ibadah, bersujud kepadanya, itu merupakan tugas individu, tetapi tidak bisa kita menuntuk Allah supaya kita selalu hidup enak di dunia. Kita sebagai makhluk sosial harus mempunyai sikap kontrak sosial dengan makhluk Allah yang lain. Karena gotong royong yang telah menjadi budaya luhur masyarakat Jawa harus melibatkan bebagai pihak. Islam sudah menjeaskan dalam ibadah ada Maghdoh dan Mua’malah. Kalau Maghdoh urusanya rukun Islam dan Iman, sedangkan Mu’amalah urusanya dengan kelompok sosial disekitar kita. Tetapi antara Maghdoh dan Mua’malahharus saling berkaitan dan beberangan satu sama lain. Mungkin bisa berjalan sendiri-sediri, tetapi dalam niat untuk mencapai nilai yang bagus dari Allah Swt bisa dikolabirasi sesuai dengan ketepatan waktu dan keadaanya.
Ketika Demak akan
berdiri maka harus dibutuhkan seseorang yang mempunyai penguasaan diantara
kedua istilah yang diajarakan dalam Islam. Ketika Raden Fattah mangkat menjadi Raja bergelar Sultan,
maka pribumi areal pedalam yang masih memeluk ajaran lokal bisa dengan mudah
untuk di-Islamkan. Strategi membangun bentuk negara di prakarsai secara
langsung oleh kanjeng Sunan Kalijaga yang mempunyai peranan sebagai setting
politik kerajaan Demak. Maksud dari hal tersebut tidak lain dan tidak bukan
hanya untuk menyebar-luaskan Islam sampai ke pedalaman. Nah, dalam keadaan
inilah dibutuhkan keseimbangan yang mumpuni dalam menopang kesetabilan negara.
Sebagai seorang raja
tidak bisa melakukan kebijakan yang memancing gesekan kaitannya dengan agama,
dalam bernegara agama dijadikan sebagai landasan utama untuk menentukan seah
kebijakan, jangan sebagai alat politik untuk mengusung suara terbanyak. Mungkin
hanya di Indonesia agama sebagai alat pijakan politik yang selalu menibulkan
gesekan, tetapi dahasyatnya penduduk Indonesia tidak sampai terjadi sebuah gesekan
yang berkepanjangan. Kritik, hujat, hina, sudah sering dilakukan. Tatapi tidak
sampai mereka membenci satu sama lain secara berlarut-larut. Mengkritik belum
tentu membenci, perbuatan membenci bukan watak asli bangsa Indonesia.
Ajaran para Walisongo
melaluia tembang dolanan yang diwariskan kepada anak, sehingga menjadi tembang
dolanan anak supaya awet sampai ber-abad-abad. Karena anak sebagai posisi yang
tepat untuk diajak bermain, sekalipun permainan itu sangat dalam maknanya. Toh,
hidup ini juga layakya permainan dari Allah Swt untuk manusia, jikalau ada
manusia yang selalu membenci, mengadu domba, memcah belah, hakikatnya mereka
belum faham menjaani hidup ini. Menconoh dri anak-anak saja akan banyak nilai
yang terkadung didalamnya. Setiap gerak-gerik anak, apalagi ada rekan bermain,
suasan kegembiraan yang akan selalu tampak.
Setiap manusia akan
membawa sebuah amanah, selain tugas utama da tugas yang tidak kalah beratnya.
Ketika memaknai hidup belum faham, masih diselimuti pertengkaran yang
berlarut-larut maka untuk mengemban tugas beruoa amana akan terasa sangat
berat. Dalam tembang dolanan anak Gundhul
Pacul ada ilirik yang mengatakan Nyunggi,
Nyunggi Wakul. Maknya adalah Nyunggi, merupakan peristiwa membawa
suatu barang diatas kepala, biasanya barang yang memunyai beban ringan. Jadi
peristiwanya berdeda dengan membawa barang di tangan pada umumnya. Wakul, sebuah tempat untuk menampung
nasi yang terbuat dari anyaman bambu.
Dalam peristiwa Nyunggi Wakul harus mempunyai
kelengkapan multidimensi dalam segala hal, baik itu ilmu agama, teknoligi,
kebudayaan, dan lain sebagainya. Hal itu terjadi ketika seseorang mampu
menembus kadar dalam kehidupan yang sudah masuk dalam tingkatan tertentu.
Seperti halnya seorang pemimpin harus mampun menunjukkan bahawa ia sanggup
memegang amanah dan keperyaan yang sudah diberikan oleh rakyat. Lebih-lebih
para pemuka agama atau Barahmana harus serius dalam menjalankan ajaran Islam.
Karena dalam hal ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab rakyat maupuan umat
merupakan simbol nasi yang tertuang didalam Wakul,
sehingga seorang pemimpin yang Menyungginya
tidak boleh Gembelegan, atau
seenaknya sendiri, supaya tidak sampai jatuh amanah yang ia emban.
Puncak dari peristiwa Nyunggi Wakul yang sesuai dengan ril
yang benar akan mencipkan suana yang amana, kalau negara seperti yang dikatakan
AL-Qur’an, Baldattun Toyyibatun Warobbun
Ghofur, kalau dalam istilah orang Jawa Jer
Basuki Mawa Bea Gemah Ripah Lohjinawe Tata Tentrem Kerta Raharjo.
Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan
(Cah Jatirogo danMahasiswa UIN Walisongo Semarang)
Komentar
Posting Komentar