Agama Masyarakat Pribumi Pra-Walisongo

Ilustrasi

Telah di ungkapkan bahwa agama di negeri kita ini (Indonesia) mayoritas adalah Islam. Catatan ini dalam sejarah Jawa muncul pada tahun 1250 M, seteleh beberapa usaha untuk mempengaruhi pangeran Sunda gagal. Sekitar tahun 1475 M dimana kerajan Hindu Majapahit berdiri dan berkuasa di pulau ini, namun kemudian tergeser dan agama Islam mengokohkan diri di negeri ini.
Masyarakat kecil masih percaya mempercayai institusi nenek moyang mereka, dan meskipun mereka telah lama beribadah di candi-candi dan mengidolakan pembawaan ajaran ketuhanan, mereka masih menujjukan perhatian yang tinggi pada hukum. Apapun kepercayaan mereka tercakup dalam institusi, kebiasaan dan rasa memeiliki dari orang-orang Jawa dengan benda-benda kuno bersejarah tetap terpelihara.
Dari uraian sebelumnya bahwa ketika tahun 1292 M menurut catatan Marcopolo masayarakat pribumi mayoritas masih menyembah batu, pohon, bahkan roh gaib yang di percaya mempunyai kekuatan yang luar biasa, dalam istilah barat dikenal dengan Animisme Dinamisme. Pemujaaan terhadap benda-benda yang sebetulnya bersifat mati itulah menurut Ma Huan di anggap kafir. Kenapa, saat ia menemani Kaisar Laksamana Cheng Ho ke Jawa masyarakat pribumi banyak yang melakukan pemujaan terhadap benda-benda tersebut. Banyak sejarah yang mencatat agama yang di anut sebelum Islam di terima masyarakat Pribumi secara masal adalah Hindu-Buddha.
Namun hal ini di bantah oleh sejarawan nasional Agus Sunyoto, menurutnya Walisongo melihat sebetulnya agama Hindu dan Buddha hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di keraton-keraton. Masyarakat umumnya beragama Kapitayan, yakni pemuja Sang Hyang Taya. Taya artinya suwung, kosong. Tuhannya orang Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Taya didefinisikan secara sederhana dengan “tan keno kinaya ngapa”, tidak bisa diapa-apakan, dilihat, dipikir, dibayangkan. Kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian ada di berbagai tempat, seperti di batu, tugu, pohon, dan disitulah mereka melakukan sesaji.
Sebelum saya membahas lebih jauh, perlu saya sampaikan bahwa pemilihan istilah Ajaran Kapitayan adalah upaya saya untuk membedakan dengan kepercayaan ataupun kejawen yang sudah berkembang demikian ragam. Demikian pula materialisme yang saya maksud adalah dalam pengertian luas dan berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan, Sang Pencipta.

Penyesatan oleh materialisme

Sebagaimana dijumpai di belahan dunia lainnya, persoalan materialisme menjadi ancaman serius dalam perkembangan sebuah ajaran (agama). Perkembangan agama samawy yang turun di belahan timur tengah menampilkan sebuah gambaran bahwa materialisme merupakan ancaman serius dalam kemurnian konsep Agama yang lurus, dalam penyembahan kepada Tuhan YangEsa (Ajaran Tauhid). Ketika Agama samawy yang dibawa oleh Nabi Adam, Hud, Soleh, Ibrahim, Musa, dan sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW godaan dan ajakan kepada materialisme begitu kuat dan membuat banyak manusia sesat. Seperti Namrud, Fir’aun adalah contoh manusia yang terjebak pada materialisme dalam arti diri sendiri, sebagai bagian materi ciptaan (hamba) yang mengaku menjadi Tuhan yang layak disembah. Bagaimana Korun, Bal’am, Samiri yang tersesat oleh kilauan materialisme dalam bentuk harta, ilmu dan sesembahan. Masih banyak lagi bentuk-bentuk materialisme, termasuk di dalamnya adalah hedonisme, pemuasaan nafsu sahwat yang berlebihan.

Materialisme dalam konteks ini adalah sebuah pemahaman dan keyakinan bahwa materi adalah sebagai segala-galanya, maka Tuhan itu “tidak ada”. Demikian pula materialisme mengajarkan upaya untuk mempersonkan Tuhan dalam bentuk materi, apakah manusia, ide yang tercapai oleh akal, batu dan bentuk-bentuk lain. Memang manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan materi, namun ajaran tauhid selalu mengajak manusia kembali kepada Sang Pencipta materi, bukan terjebak dan terpukau oleh materi itu sendiri.

Ajaran Kapitayan dan Materialisme

Jauh sebelum masuknya beberapa agama, ide dan kepercayaan ke Jawa, masyarakat Jawa mempunyai ajaran Kapitayan, yaitu kepercayaan kepada Shang Hyang Taya (Diri yang tanpo kinoyo). Zat mutlak yang disebut Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dikonsepsikan dalam kata Taya yang diartikan sebagai tan kinoyo (tak dapat diserupakan dengan apapun), karena Dia adalah yang absolut dan tak terjangkau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran ini masih lurus, karena mengusung keESAan (monotheisme). Soal tatacara ini memang kurang meyakinkan, karena memang masyarakat Jawa saat itu masih belum mengenal tulisan (pra sejarah), sehingga sangat mengandalkan budaya tutur, yang sangat memungkinkan adanya distorsi-distorsi. Namun soal Kapitayan beberapa ahli sejarah membenarkannya.

Kembali kepada topik. Bahwa Ajaran Kapitayaan yang monotheis dalam perkembangannya juga dipengaruhi oleh materialisme. Shang Hyang Taya sebagai sumber baik itu kebaikan dan keburukan (menurut pandangan manusia), pada akhirnya dijatuhkan pada dua diri, yaitu diri yang baik dan buruk (padahal itu hanyalah sudut pandang manusia). Hingga kemudian muncul konsep Tu dan To, dimana Tu adalah yang baik dan To adalah yang buruk. Ada sebagian kemudian ini dikaitkan dengan keberadaan dua tokoh, yaitu Semar (sebagai pemawa ajaran Tu) dan Togo (sebagai pembawa ajaran To), dan bisa jadi lebih tragisnya adalah Semar sebagai Wujud Shang Hyang Taya yang Baik dan Togog adalah wujud Shang Hyang Taya yang buruk. Jadi sudah ada derivasi dari Tuhan menjadi person-person, sudah tidak Tunggal Lagi.

Keberadaan Tu dan To juga dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai bentuk penyembahan, dimana Tu mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Tunggal (Tu-nggal) dan To adalah mengajarkan penyembahan Kepada Shang Hyang Taya dengan berbagai sarana. Di sini kemudian lebih jauh lagi bahwa Shang Hyang Taya menyatu (dalam arti satu fisik) dalam berbagai benda fisik dan nonfisik. Karenanya baik yang fisik dan nonfisik tersebut kemudian diyakini sebagai Shang Hyang Wenang (sebutan lain karena Kuasa), maka pada perkembangan ini sudah menjadi politheisme, beragam Tuhan. Fenomena inilah kemudian oleh ahli Barat (Belanda khususnya) menyebut animisme dan dinamisme. Dan ini yang biasa disebut sebagai agama asli Jawa. Padahal dari uraian sebelumnya tidak demikian.

Dengan datangnya berbagai kepercayaan dan agama di Jawa kemudian memunculkan keragaman keyakinan yang demikian banyak dan kompleks, seperti ajaran pengorbanan (bahkan korban manusia di beberapa gunung berapi di Jawa). Pengaruh materialisme berikutnya adalah adanya pemujaan hawa nafsu dalam segala bentuk. Misalnya minuman keras (mabok), seks (medok), membunuh dan sebagainya dalam sebuah ritual. Ini adalah perkembangan lebih jauh daripada To itu tadi, yang mengajarkan penyembahan kepada Shang Hyang Taya dengan beragam cara dan sarana, meski itu dengan tindakan buruk. Mereka yakin juga sampai kepadaNya. Sisa-sisa ajaran seperti ini juga disinyalir masih ada di beberapa daerah meski itu sangat rahasia.

Agama Kapitayan inilah agama kuno yang dalam arkeologi, sisa-sisa peninggalannya dikenal dalam istilah Barat dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lainnya yang menunjukkan ada agama kuno di tempat itu. Nilai-nilai agama Kapitayan inilah diambil alih oleh Walisongo, dengan menyebarkan Islam melalui Kapitayan. Sebab konsep tauhid Kapitayan sama dengan Islam. Tan keno kinaya ngapa sama artinya dengan laisa kamitslihi syai’un. Istilah-istilah yang digunakan Walisongo pun masih istilah Kapitayan, seperti menyembah tuhan disebut sembahyang (sembah hyang taya). Waktu melakukannya ada tiga, yaitu di saat matahari terbit, beduk (beduk siang dan malam bisa jadi 2 kali). Tempat ibadah Kapitayan disebut sanggar, yakni bangunan empat persegi yang pada dindingnya ada lubang kosong (simbol dari Sang Hyang Taya, bukan patung atau arca seperti Hindu Buddha). Walisongo menyebutnya langgar. Bedug juga istilah Kapitayan.

Ada juga ibadah tidak makan dari pagi sampai malam. Walisongo tidak menggunakan istilah shaum atau siyam, tapi Upawasa (puasa, poso). Poso dino pitu berarti yaitu puasa padi hari kedua dan kelima. Nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Dalam Islam, dikenal dengan Puasa Senin Kamis. Tumpeng dalam sesaji juga tetap dijalankan. Inilah yang dalam istilah Gus Dur disebut “Mempribumikan Islam”. Pada zaman Majapahit, ada upacara “Sraddha”, yakni upacara setelah 12 tahun kematian seseorang. Ketika terjadi peringatan sraddha seorang raja Majapahit, Bhre Pamotan Sang Sinagara, seorang pujangga, Mpu Tanakung, membuat kidung “Banawa Sekar” (Perahu Bunga), untuk menunjukkan betapa upacara itu dilaksanakan dengan penuh kemewahan dan kemegahan.

Dengan uraian di atas, sungguh benar, jika dikatakan bahwa cobaan manusia hidup di dunia yang terberat adalah materi. Kebutuhan akan materi seringkali menjerumuskan kepada cinta berlebihan dan pengagungan. Demikian pula ketakjuban kepada materi dalam segala bentuknya juga telah mendorong manusia meyakininya sebagai sumber kehidupan, bahkan Shang Hyang Tunggal yang tan kinoyo opo-opo (Shang Hyang Taya) dianggap tidak ada diada-adakan saja sesuai selera manusia. Semoga kita bisa melewati ujian berat ini tidak jatuh kepada penyembahan yang keliru. Maka dari itu Walisongo merubah perdaban baru yang begitu luar biasa, penjelasan selanjutnya. Sehingga Islam bisa di terima masyarakat Pribumi secara masal sebagai ajarann yeng benar-benar memberika makna-makna kehidupan.

Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan
(Cah jatirogo dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe