Amanat Kiai dan Jatuh Cinta
Ternyata cinta bukan hanya
wacana, ia begitu pribadi dan tak terbaca. Tak hanya kata-kata namun sarat akan makna. Lebih dari itu, ia menuntut pengorbanan bagi yang tengah dilandanya. Dalam ketulusan cinta itu, rasa kasih sayangakan tercipta.
Setiap orang tentu memerlukan cinta. Tanpa cinta hidup ini terasa tak bermakna. Dan cinta kepada Tuhan adalah Mahacinta. Mahacinta
yang mengantarkan kasihsayang kepada
sesama makhluknya. Pada tubuhwanita terselip tulang rusuk laki-laki.
Sungguh maha pengasih Allah yang telah menjadikan sepasang kekasih sebagai
tempat tercurahnya kasih sayang, ketentraman dan ketenangan.
Malam ba’da isya’ semua santri
berkumpul di aula untuk mengaji. Santri putra dan putri dipisahkan oleh papan
berjalan atau biasa disebut satir. Malam itu adalah malam minggu yang biasa
diisi oleh Kyai Said. Seminggu sekali Kyai Said mengisi
pengajian kitab Ihya’Ulumuddin
karangan imam Ghazali itu. Namun di
malam itu, Kyai Said meminta Fahmi untuk mengajar Aadaabul ‘Aalim Wal
Muta’allim karangan Hadrotusy Syeikh Hasyim Asy’ari. Sebelum mulai
mengaji para santri berdo’a.
“Robbanaa fa’naa bimaa ‘allamtanaa yaa Robbanaa *Robbi ‘allimnal ladzi
yanfa’una yaa Robbanaa,
Robbi faqqihnaa wa faqqih ahlanaa yaa Robbanaa *Waqara batin lanaa fii
diininaa yaa Robbanaa...........”
Seorang pemuda mengangkat meja dan kursi,
diletakkannya benda itu di pojok aula. Ia mengganti meja dengan ukuran yang
lebih pendek dan duduk bersilah di hadapannya. Semua santri saling berpandang
dan bertanya-tanya siapa pemuda di depan itu, mengapa
menggantikan Abah? Lukman dan Ahmad duduk di paling belakang
dengan tenang, wajar saja karena mereka telah mengenal pemuda di depan itu.
“Naili,
cakep sekali, siapa beliau.”Bisik Cungkring pada Naili, Zul tersenyum mendengar ucapan Negro.
“Aku gak tau, malah baru pertama lihat.” Jawab
Naili.
“Mbak sepertinya beliau tamu Umi pas tadi
pagi, kebetulan saya yang membuatkan teh untuknya.
”Sela Zul dengan lirih. Naili dan Cungkring masih penasaran tapi pengajian akan dimulai.
“Assalamu’alaikum Wr.Wb.”
“Wa’alaikumsalam Wr.Wb.”Jawab seluruh santri dengan kompak.
“Alhamdulillah…amma ba’d, Sebelumnya saya ucapkan
terimakasih dan mohon maaf karena telah lancang duduk di hadapan kang-kang dan
mbak-mbak sekalian. Berhubung saya tidak kuasa menolak titah Abah, maka dengan
kerendahan hati saya paksakan diri untuk duduk di hadapan njenengan sekalian,
kenalkan nama saya Fahmi.”
“Oh namanya Fahmi?” Bisik Cungkring kepada Naili.
“Pemuda itu namanya Fahmi, bagus sekali.” Kata
Zul dalam hati.Ada senyum kecil dari wajah gadis itu.
“Hayoo.....Zul senyam-senyum sendiri, kamu suka ya sama Ustadz Fahmi?” Cungkring menggoda Zul.
“Tapi Zul sama Ustadz Fahmi
sepertinya cocok ya.” Naili menguatkan godaan Cungkring. Tiga santri itu sedikit mengusik keadaan hingga pandangan Fahmi tertuju
pada mereka dan berkata “Mbak, mohon tenang ya.” Zul, Naili, dan Cungkring celingukan sembari menahan rasa malu. Fahmi melanjutkan pengajian dan
dijelaskan olehnya dengan pembawaan tenang, bahasa yang runtut dan
mudah dipahami.
“Dalam bab kedua ini, ada dua belas adab yang hendaknya dilakukan oleh
Muta’allim (orang yang menuntut ilmu) berkaitan dengan dirinya sendiri.
Adab yang pertama adalah, Seorang Muta’allim hendaknya menyucikan
hatinya dari segala penyakit hati. Rasa iri, dengki, su’udzon, dan
akhlak yang buruk dapat menjadi penghalang masuknya ilmu. Ketika hati suci,
maka hati akan mendapat pancaran sinar dari Allah, dan ilmu akan bersemayam di
dalamnya. Karena ilmu adalah petunjuk, ia tak mau bersemayam di hati yang penuh
maksiat.
Oh ya saya ingin menambah penjelasan tentang maqalah Sufyan
Ats-Tsauri di materi yang sudah lewat. Dalam maqalah itu diterangkan
bahwa kematian ulama’ adalah musibah yang besar bagi umat. Berbicara musibah,
ulama’ menafsirkan bahwa musibah terbagi menjadi dua. Musibah ‘amm dan Khass.
Musibah Khass adalah musibah yang menimpa setiap orang. Sakit,
kehilangan harta, jabatan, dan orang-orang yang dicintai adalah bagian dari
cobaan Khass. Cobaan tersebut memang berat, namun masih ada yang paling
berat lagi yaitu cobaan hati.
Ketika kita solat, kita tidak bisa merasakan akan nikmatnya solat.
Memang solatnya tak pernah ditinggalkan, tapi kok maksiatnya masih saja
dilakukan. Hal itu tak sesuai dengan firman Allah, Bukankah Allah berfirman “Innassholaata
tanhaa ‘anil fahsyaai wal munkar.” Dalam hal lain Allah juga berfirman “Ala
Bidzikrillahi Tathmainnal Quluub” Kita sering berdzikir tapi hati kita tak
bisa merasakan ketenangan. Itulah cobaan hati. Kita sering lalai dengan hal
itu. Bagaimana kang-kang dan mbak-mbak, jangan terlalu sedih ya ketika ditimpa
sakit atau diputus pacarnya.” Para santri pada tertawa.
Fahmi melanjutkan “memang itu bagian dari cobaan, tapi masih ada
cobaan yang lebih berat lagi, apa itu?. ” “Cobaan hati.” Santri menjawab dengan
semangat.
Akhirnya pengajian selesai. Semuanya membaca doa kafarotul majlis.
“Subhaanakallahumma wa bihamdika, Asyhaduanlaa ilaaha illaa anta
astaghfiruka wa atuubu ilaika”
Suatu malam, jam
menunjukkan pukul dua belas. Gadis remaja menginjak dewasa itu tak bisa
tidur. Ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya.Meski matanya tertutup, tetap
saja hatinya tak bisa tidur.Tatapan mata di ruang tamu, tutur katanya ketika
menyampaikan ilmu, kesetiaannya melayani Kyai, terus
membayanginya.Ia
lantas membangunkan badan, mengangkat bantalnya, lalu
didekatkan bantal itu pada tembok untuk menyandarkan punggungnya.
“Ya Allah seperti inikah jatuh cinta, fikiran
dan hatiku terus memikirkannya sampai-sampai aku tak bisa tidur. Sebelumnya aku tak pernah seperti
ini. Ustadz Fahmi apa aku telah jatuh cinta padamu?”
Malam yang sama di sudut kamar yang beralaskan
karpet, Fahmi menenangkan kegundahan fikiran dan hatinya. “Dik Zul apakah
kau tahu bahwa selama ini aku selalu mengamatimu. Semakin lama rasa cinta itu
semakin kuat. Aku pengecut tak berani mengungkapkannya. Ahh…Bukan pengecut, ini hanya
masalah waktu.Setelah ku rasa tepat aku akan mengatakannya.”
Siang berganti malam, setengah tahun Fahmi membadali Abah. Setelah Abah sembuh, Abah Yusuf belum
juga memberi arahan untuk selanjutnya. Rupanya Fahmi memang harus mengabdi di pesantren Abah Said untuk waktu
yang lumayan lama. Selama di pesantren Fahmi jarang mengaji, ia menjadi khadim Abah dan selalu
menemaninya ketika pergi memenuhi panggilan umat. Mengajar
santri dan melayani Kyai, hal itu yang dilakoninya sampai
setahun. Tepat kurang sepuluh hari bulan April Fahmi mendapat telepon dari Kyai Yusuf.Kyai
Yusuf mengatakan bahwa perjalanan Fahmi selanjutnya adalah kembali menuntut
ilmu ke Universitas Islam Madinah. Kyai Yusuf sudah mengurus segala sesuatunya
dan telah mengkomunikasikan pada Kyai Said,
“Persiapkan dirimu dengan baik, sepuluh hari
lagi Abah Umi dan Kyai Said beserta istri akan mengantarmu ke
bandara.” Itulah pesan dariKyai Yusuf.Selepas menerima telefon Fahmi
nampak sangat bahagia, namun ada kekhawatiran juga pada dirinya.
“Telepon dari siapa kang?” Tanya Ahmad
“Dari Abah Yusuf kang.” Jawab Fahmi
“Tadi ku lihat kang Fahmi nampak sangat
bahagia, tapi sekarang kok
murung gitu.Sebenarnya ada
apa kang?” Ahmad
mencoba memancing jawaban, sambil menepuk pundak Fahmi.
“Benar kata Ahmad, kang Fahmi seperti punya masalah, Ayolah cerita.siapa tahu kami bisa bantu.” Bujuk Lukman
sambil mendekati Fahmi dan Ahmad.
Fahmi tersenyum “Begini, tadi beliau memberitahu bahwa sepuluh hari lagi aku akan
dikirim ke Madinah untuk belajar di sana. Segala sesuatunya sudah disiapkan,
tapi….” Fahmi menjelaskan pada Lukman dan Ahmad.
“Subhanallah, kang Fahmi akan belajar
ke sana, hebat sekali kang. Kabar bagus berarti kang. Apa
AbahSaid
mengizinkan, kang Fahmi kan sudah seperti anak di sini.” Kata Ahmad menanggapi
Fahmi.
“Kata Abah Yusuf, beliau sudah matur pada AbahSaid. Ada yang perlu sampeyan
ketahui, semakin orang percaya kepada kita semakin besar pula rasa kecewanya.”
Kata Fahmi
“Iya kang, aku tahu saat ini kang Fahmi sedang
memikul amanat yang berat dari dua Kyai, namun sepertinya ada hal lain yang masih
mengganjal?” Lanjut Lukman
Fahmi diam sesaat, menghela nafas dan masih
memikirkan apakah hal itu akan diceritakan pula dengan Ahmad dan Lukman. Kini
Zul sudah kelas tiga sebentar lagi akan melaksanakan ujian, ia takut kalau
perasaannya itu akan memecah konsentrasi Zul, di sisi lain ia tak tenang kalau
belum mengutarakan isi hati yang selama ini
membelenggunya. Kepergiannya untuk waktu yang lama membuatnya cemas, rasanya ia tak rela jika Zul sampai jatuh hati pada orang lain. Zul dan Fahmi berselisih 4 tahun, Namun
ketika keduanya melanjutkan ke Perguruan Tinggi maka
akan jadi angkatan yang sepadan.
“Menurut sampeyan Dik Zul itu
orangnya bagaimana?” Tanya Fahmi, seketika Ahmad dan Lukman tercengang.
“Apasampeyan ada rasa sama Dik Zul?” Lukman justru balik nanya.
“Selama ini Dik Zul telah
memikat hatiku kang, dari awal bertemu di ndalem itu.” Ungkap Fahmi
“Ya Allah kang, sampeyan kuat sekali
memendam rasa itu. Bahkan selama itu saya nggak tau kalau kang Fahmi ada rasa
sama Dik Zul. Kalau pengamatan saya selama mengenal Dik Zul, InsyaAllah dia akan menjadi teman yang baik untuk sampeyan, tunggu apa lagi
kang, sampeyan akan pergi lama, apa mau kalau pas pulang Dik Zul sudah ada
yang punya? Hehe…” Tambah Ahmad dengan
memprovokasi Fahmi.
“Kalau waktunya sekarang apa tidak akan
menggaggu konsentrasi belajarnya?” Kata Fahmi
“Begini saja kang saya akan minta tolong sama
Naili untuk memancing Dik Zul tentang sampeyan, jika responnya baik,
sampeyan lanjut ke babak berikutnya, Gimana? Hehe…”
“Ya kang, aku setuju…kalian memang rajanya
cinta.” Hahaha, mereka
bertiga tertawa.
“Tunggu dulu kang, saya masih ada pesan ini.” Ahmad menghentikan tawa. “Apa kang, kelihatannya serius
banget.” Jawab Fahmi.
“Sampeyan bolehlah jatuh cinta sama wanita, tapi tetap hati-hati
jangan sampe Allah dan Rasulnya cemburu.”
“Geh yai, terimakasih wejangannya[1].”
Kata Fahmi sambil berlagak seperti santri yang menghadap Kyainya.
Hahaha…Gelak tawa kembali memecah ketegangan mereka. Ternyata Fahmi tak perlu menunggu waktu lama,
sinyal positif Zul telah diterimanya. Dalam kesepian malam usai qiyamul lail,ditemani
secarik kertas dan bolpoin, Fahmi menulis surat untuk Zul.
“Assalamu’alaikum wr.wb.
Untuk dambaan hatiku Dik Zulaikha,
Andai kau tahu,
Sejak kali pertama ku melihatmu,
Sejak itu pula kau telah menaklukan hatiku,
Kau hadir memberi warna hari-hariku,
Meski ku hanya menyembunyikannya dalam do’a rindu,
Andai kau tahu,
Sekian lama ku
amati tutur kata dan bahasa tubuhmu,
Sekian lama
pula hatiku gundah tak menentu,
Menahan rasa yang merasuk jiwa,
Menahan rasa yang menyesakkan dada,
Jika Tuhan menghendaki kita tuk bersama,
Semoga goresan tinta ini menjadi sebuah
perantara,
Bersatunya dua insan dalam ikatan cinta,
Kata ini memang tak mampu untuk melukiskan penuh apa yang
ku rasa.
Meski demikian ku akan tetap mengutarakan bahwa,
Aku mencintaimu Dik Zul,
Jika Dik Zul memiliki rasa yang sama, mohon bersedia
membalas surat ini. Sebaliknya jika Dik Zul tak bisa menerima, mas akan
menerimanya dengan lapang dada. Setidaknya dengan surat ini perasaan masbisa lebih lega, agar tak ada lagi kegundahan di hati dengan penuh tanda tanya. Besok tanggal 6 Mei mas akan
melanjutkan belajar ke Madinah, Mohon do’anya ya. Mas sangat berharap akan mendapat balasan yang baik dari Dik Zul.
Komentar
Posting Komentar