Cahayanya Ilmu
Hamparan lantai tak beratap menyambut hembusan
angin. Di tengah hamparan itu rentetan kawat berjejeran membentuk barisan. Beberapa gerombol besi yang tegak, menjadi sasaran tempat untuk bersandar. Loteng[1] memang menjadi tempat favorit para santri, baik
untuk belajar, menghafal ataupun sekedar santai-santai.Wajar saja, dari ketinggian
itu tampak pemandangan sekedar untuk melipur hati. Hamparan laut bak birunya langit
dengan kapal-kapal kecil yang terombang-ambing
ombak, pabrik-pabrik dengan kepulan asapnya yang kadang bikin nyesek,
rumah penduduk yang begitu padat, namun masih ada juga pepohonan rindang yang
menyejukkan hati.
Zul adalah sebagian santri yang larut dalam
keadaan itu. Ia termenung sendiri sambil menunggu adzan Maghrib.
Suasana sore memang sangat enak, udara segar, keadaan sekeliling yang
memanjakan mata, dan juga lantunan Al-Quran yang sangat merdu dari arah masjid.
“ Santri baru ya dik”
“Iya mbak” Tanya seorang santri yang lagi
menjemur pakaian.
Setelah selesai
ia mendekati Zul sambil menenteng embernya. Sejenak santri itu memandang
hamparan laut dengan pandangan penuh
semangat. Santri itu
berkata “Ayah Ibu,semoga kalian baik-baik saja.” Lantas ia mengalihkan pandangan dan menyerongkan tubuhnya.
“Adik namanya siapa?”
“ Zulaikha mbak.” Jawab Zul singkat
“Kenalkan nama saya Naili.Adik lagi sedih
ya. Kalau boleh cerita, dulu mbak juga seperti adik.Awal masuk
pesantren rasanya rindu sekali dengan orang tua. Kadang keadaan juga nyebelin
mau apa-apa serba antri. Pokoknya kaya nggak betah mondok. Tapi berjalannya
waktu sampai kita bisa merasakan nikmatnya menuntut ilmu, perasaan itu akan
berubah menjadi kesemangatan. Adik juga akan dapat teman baru sebagai keluarga
barumu dik”. Santri
itu bercerita seolah paham apa yang sedang dirasa Zul.
“Makasih mbak, mbak ini orang mana?”
“Kelihatannya orang mana?Hehe…mbak orang Jambi dik. Sebenarnya
orang tua mbak asli Kebumen kemudian Trans ke sana.”
“Ehem, Ehem, Cie…Punya adik baru ni
dzah?” Santri bertubuh kurus, tinggi
berkulit hitam, dan berambut kribo, sambil membawa novel menghampiri Naili dan Zul.
“Hehe…kamu ini.Ni ada santri
baru, kamu dah kenal belum?”Kata Naili
“Owh santri baru.Cantik sekali…namanya siapa dik?”
“Zulaikha mbak, nama mbak?”
“Nama saya Hikmah, tapi panggilan kerennya
mbak Cungkring. Hehe… Kamu tahu nggak dik, mbak Naili
ini santri putri paling pwinter di sini, paling disayang Pak Kyai
juga.” Ujarnya sambil memegang pundak Naili.
“Laili
turun yuk, aku dah lapar ni.” Lanjutnya
“Ah kamu ini berlebihan.”Kata Naili sambil menatap Cungkring.
“Dik mbak Cungkring memang suka begitu.Ayo dik turun dulu.”Ajak Naili sambil melempar senyum pada Zul.
Seiring berjalannya waktu hubungan Zul,Naili
dan Cungkring menjadi sangat akrab. Usia Zul yang lebih muda
dari keduanya, dimanfaatkan Zul untuk memperdalam
ilmunya.Setiap malam Zul belajar privat dengan Naili.Berbagai kitab seperti Safinah,
Aqidatul Awam, Jurmiyah,Tuhfatul athfal, Shorof At-tasrifiyah, Khulashoh,
juga kitab akhlak dipelajarinya. Menginjak kelas dua, Zul semakin
memperdalam ilmunya dengan mempelajari kitab yang lebih tinggi tingkatannya. Hingga lulus MTs kitab
Imrithi, Sulam Taufiq, dan kitab lain telah selesai dipelajarinya. Di sekolah formal Zul juga selalu masuk tiga besar.
Layaknya orang menanam agar hasil panennya
memuaskan maka tanaman itu harus juga di beri rabuk, demikian juga
dalam menuntut ilmu. Di sepertiga malam Zul membiasakan untuk qiyamul lail diteruskan dengan muthola’ah. Dalam
munajat malamnya itu Zul mengadukan kerinduan pada orang tuanya dengan mendo’akan
mereka. Selama masuk pesantren Zul belum pernah pulang ke rumah.Kala lebaran
tiba, hanya Ibunya saja yang menjenguk, Ibunya selalu
bilang kalau Bapak lagi tidak enak badan.Ia sangat ingin
pulang, namun Bapaknya berpesan agar ia pulang setelah
menyelesaikan SMA nya. Zul tak berani
melanggar pesan Bapaknya. Atas anugerah Allah kecintaannya pada ilmu menjadi
pelipur hati tatkala puncak kerinduan pada orang tua menghampirinya.
Memasuki masa abu-abu gadis itu masih sangat polos. Kecintaannya pada
ilmu mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain. Dia semakin memegang teguh agamanya,
menghormati guru-gurunya, menyayangi orang tuanya,dan membaur dengan
sesama dengan akhlakul karimah. Rasa cinta terhadap lain jenis belum sempat terfikirkan oleh Zul. Di pesantren dia selalu bersemangat untuk mengaji. Hingga suatu saat, ketika ia sedang belajar ada sesuatu yang menggegerkan pesantren. Tiba-tiba
semua santri disuruh berkumpul di aula. Kepanikan, kecemasan, ketakutan
terpancar dari wajah mereka. Mereka bermujahadah untuk mendoakan Kyai yang
mendadak sakit. Saat mujahadah berlangsung tiba-tiba Hp lurah pondok berdering. Semua diam tak
bergeming, perhatian tertuju ke pada lurah pondok yang memimpin mujahadah.
“Wa’alaikumsalam, Dos pundi Umi? Terdengar lurah pondok menjawab telepon, beberapa saat kemudian ia berkata lagi ” Geh Umi.”
“Kang Ahmad tolong gantikan pimpin do’a, saya
diutus Umi untuk menjemput tamu.” Mujahadah pun berlanjut, Ahmad memimpin hingga selesai.
Malam itu pesantren kedatangan tamu, yaitu Kyai Yusuf Susilo bersama Istri. Mereka adalah pengasuh Pondok Pesantren
Al-Umariyah Sunan Kalijaga, seorang santri putra mendampingi mereka. Semua santri antusias
menyambut pengasuh Ponpes Al-Umariyah
Sunan Kalijaga itu. Selepas
menjenguk Kyai Said pengasuh
pesantren Al-Umariyah Sunan Kalijaga itu memang sengaja ingin melihat pesantren yang diasuh
kyai Said. Di ruang tamu, Kyai Yusuf beserta Istri, seorang santri dan lurah pondok berbincang-bincang hangat dan
santai.Setelah panjang lebar ngobrol, sepertinya Kyai Yusuf mulai mengarah pada
inti silaturrahimnya. Matanya menatap santri yang duduk disampingnya dengan
serius.
“Fahmi, biasanya Abah selalu bersama Ibnu
ketika bepergian.Kamu tahu, kenapa sekarang Abah mengajak kamu?”
“Maaf bah, saya hanya menjalankan titah Abah
saja, selebihnya tidak tahu.”
“Begini Fahmi, Abah rasa sekarang tempatmu
adalah di sini. Kau juga harus ngaweruh ilmu[2]
pada Kyai Said. Bagaimana Fahmi?” Tanya kyai Yusuf
“Tidak, Kau sudah selesai belajar dengan Abah. Malam ini
juga kau akan kami tinggal sampai ada isyarat lagi dari Abah. Bagaimana?”Kata Kyai Yusuf
untuk meyakinkan Fahmi.
“ Insya Allah, saya ikut saja arahan
dari Abah.”
“Alhamdulillah Fahmi bersedia Umi.Sekarang
kita bisa pamit pulang. “
“Iya bah, ya udah kalau begitu kami mohon
undur diri. Oh ya Fahmi, ini ada sarung dan surban Abah untuk kamu.
Jaga diri kamu baik-baik ya.” Pesan Bu Nyai pada Fahmi
sambil meninggalkan pesantren Kyai Said.
Pemuda berparas tampan, tinggi yang ideal,
serta berkulit putih membuatnya terlihat bersih dan gagah. Fahmi bersama lurah
pondok memasuki kamar pengurus. Suasana baru begitu terasa oleh Fahmi. Di Pesantrenia hanya mengaji kitab kuning melulu tanpa sentuhan ilmu umum.
Hal itu berbalik dengan pesantren asuhan Kyai Said yang sudah
dikolaborasi dengan ilmu umum meskipun tetap berbasis salaf. Kini yayasan yang dipimpin Kyai Said diimbangi
dengan sekolah-sekolah formal seperti SMP,SMA dan SMK. Hal itu memang solusi
yang dipilih pesantren agar tetap bisa menjadi garda pendidikan agama dan menjawab
tantangan zaman dengan semakin pesatnya perkembangan IPTEK.
Komentar
Posting Komentar