Menggantikan Kiai Said
Di sepertiga malam pengurus pesantren nampak wira-wiri[1]
membangunkan santri untuk qiyamul lail. Ada yanglangsung bangun, ada yang bangun sekedar
mengelabuhi, adapula yang sulit dibangunkan hingga semprotan air harus
menghujani wajah santri.Selesai solat tatkala memanjatkan do’a suasana begitu
hening, mata santri pada tertutup khusyu’. Dikira khusyu’ dalam do’a ternyata mereka lelap
dalam tidur. Sesaat kemudian waktu subuh harus menghentikan nyenyaknyatidur santri.Adzan dikumandangkan disambung lantunan solawat sembari menunggu
iqomat.
“Ilaahi lastulil Firdausi ahlaa, walaa aqwaa
alaa naaril jahiimi, fahab li taubataw waghfir dzunuubi, fainnaka ghoofirudz dzanbil adhiimi.”
Solat subuh ditunaikan dan dilanjutkan mengaji
Al-Qur’an.Gemuruh suara al-Qur’an memenuhi aula santri putra dan putri.
“Kalamun qodiimu laa yumallu samaa ‘uhuu
*Tanazzaha An qouli wa fi’li waniyati,
Bihii asytafi min kulli daai
wanuuruhu *Daliilun li qolbi indajahli wa khairoti,
Fayaarobbi matti’ni bisirri khuruufihii *Wa nawwir bihi qolbi wa
sam’ii wa muqlatii,”
Semua santri membaca do’a tanda
dimulainya pengajian. Selepas mengaji keributan santri belum berhenti, saling
berebut kamar mandi, menunggu sarapan yang belum matang, ada yang mencari baju
seragam, sepatunya hilang, dan
lain-lain hingga waktu
tinggal beberapa menit lagi bel masuk kelasterdengar. Sebelum mulai
pembelajaran, di yayasan Kyai Said semua
siswa diwajibkan untuk jama’ah solat Dhuha.
Dari depan kamar pengurus, Fahmi mengamati
gerak-gerik para siswa. Melihat seragam putih abu-abu mengingatkannya sewaktu
masih sekolah dulu. Dia rindu dengan buku-buku yang selalu menemaninya. Ia mewarisi
kebiasaan orang tuanya yaitu gemar
membaca. Keberadaannya yang mendadak di pesantren Kyai Said membuatnya
tak sempat membawa buku-buku bacaannya. Fahmi memang terbiasa membaca sejak
kecil, berbagai bacaan telah diraupnya. Ia berkelanadari satu jenjang
pendidikan ke jenjang berikutnya dengan pesantren yang berbeda pula. Lika-liku
perjalanannya menggerakkan hatinya untuk belajar agama secara mendalam. Jatuhlah Ponpes Al-Umariyah
Sunan Kalijaga sebagai
pilihannya, pesantren berbasis salaf tanpa sentuhan ilmu umum, namun ia masih tetap meneruskan hobi membacanya. Tiga tahun Fahmi belajar di pesantren itu.
Berbagai kitab seperti Alfiyah, Ikhya’ Ulumuddin dan
kitab-kitab besar lainnya telah ia khatamkan dengan baik.
“Sampeyan lagi apa kang. Kenalkan nama saya Ahmad.” Tiba-tiba seorang santri menghampiri Fahmi.
“Ini lagi
menikmati suasana baru. Kenalkan juga
nama saya Fahmi. Kang Ahmad sudah lama di sini?”
“Sampeyan manggilnya Ahmad saja, wong masih muda gini
kok. Hehe.. Lumayan sudah 8 tahun,
sampai jenggoten gini.”
“Nggak enak lah kang. Wah itu ndak lumayan lagi kang, tapi lama
banget. Nanti saya bisa belajar sama sampeyan ya. Hehe...bawa buku apa
itu kang?”
“Oh ini novel dipinjami santri
putri. Hehe… katanya
sekali-kali baca novel, biar gak kaya kitab wajahnya.”
“Haha…bisa saja sampeyan kang. Tapi kalau saya lihat wajah sampeyan itu
wajah orang lagi kasmaran. Haha…itu novel apa kang?” Sambung Fahmi.
“Haha…Ternyata sampeyan lucu juga. Tak
kira gak bisa guyon, Wajahnya kan serius gitu. Hehe…ini kang novel Api
Tauhid.”
“Oh novel karya Habiburrahman. Novel itu bagus
juga. Novel cinta dan sejarah, dari novel itu kita bisa mengenal tokoh Badi’uzzaman Said Nursi.
Juga tempat-tempat bersejarah di Turki. Sudah sampai halaman berapa kang?”
“Lho kok sampeyan sudah tahu, wong saya saja belum buka. Ini baru dipinjemi…hehe”
“Hehe, kebetulan saya sudah
membacanya tiga tahun yang lalu. Bisa jadi ada pesan dari yang meminjami buku
itu kang.”
“ Pesan gimana kang?”
“Pesanan sarapan sudah datang. Hehe…ayo kita
sarapan dulu. Setelah sampeyan baca nanti akan tahu sendiri.”
Ketiga pemuda itu duduk melingkaruntuk
menyantap sarapan mengikuti bentuk bundar penampan. Sayur kangkung dan tempe
goreng adalah menu pagi itu. Ahmad makan dengan lahap sekali. Perjalanan
lika-liku Fahmi dengan berbagai karakter orang yang ditemui, membuatnya
leluasa dan gampang akrab ketika bergaul dengan orang lain. Tak terkecuali
dengan Ahmad dan Lukman yang menjadi lurah pondok.Selepas sarapan mereka mandi dan
solat Dhuha berjama’ah. Ahmad dan Lukman meninggalkan mushola lebih dulu,
sedang Fahmi masih diam termenung sendiri.
“Kang Fahmi…” Ahmad memanggil dengan nada lirih sambil menepuk pundaknya.
“Ada apa kang?” Tanya Fahmi.
“Umi menunggu sampeyandi ndalem, lekaslah ke sana.”
Fahmi langsung bergegas memenuhi panggilan Umi.Sesampai di ndalemUmi langsung menyambutnya.
“Assalamu’alaikum” Ucap Fahmi
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk nak.Ini tho
yang namanya Fahmi. Bagus sekali anaknya. Gimana sudah krasan belum di
sini?”Sambut Umi sambil mempersilahkannya duduk.
“Langsung saja ya nak.Umi mau menyampaikan
amanat dari Abah. Untuk sementara ini kesehatan Abah kanbelum membaik,
jadi beliau belum bisa mengajar santri. Abah minta agar kamu menggantikannya
untuk sementara waktu sampai kesehatan Abah pulih.”
Mendengar ucapan Umiwajah Fahmi memerah, dan sempat menetes air matanya.
“Maaf Umi
saya rasa saya belum pantas membadali[3]Abah. Apa tidak
yang lain saja. Ada kang Lukman dan kang Ahmad yang sudah lama di sini.”
“Umi sudah bicara dengan mereka, bahkan kata
mereka kamu yang lebih pantas. Kamu sudah berkelana dari satu pesantren ke
pesantren lain dan juga sekolah formal kamu tak ketinggalan. Apalagi terakhir
kamu nyantri sama Kyai Yusuf. Sudahlah bantu Abah ya.” Imbuh Umi
untuk meyakinkan Fahmi.
“Geh
Insya Allah.”Fahmi tak kuasa untuk menolaknya.”
Di sela obrolan Fahmi dan Umi, seorang
santriwati sambil menunduk membawakan segelas teh hangat. Entah kenapa hati
Fahmi berdetak kencang, gadis itu mendekatkan gelas ke hadapan Fahmi sambil
mempersilahkannya untuk minum. Tanpa sengaja dua insan itu saling bertatap
mata. Dengan segera mereka langsung menundukkan pandangan kembali.
“Zul tolong siapkan bajunya Abah ya, Umi mau
ke rumah sakit lagi.”
“Geh Umi.”
Gadis itu meninggalkan ruang tamu.Fahmi
melanjutkan obrolannya dengan Umi.Umi menyebutkan beberapa kitab yang biasa
diampu Abah. Fahmi lantas menuju kamar pengurus dan
mempelajari yang akan diajarkannya. Hatinya terus bertanya-tanya “ untuk inikah
Abah Yusuf mengirimku ke sini, jujur aku masih ingin belajar. Rasanya aku belum
pantas untuk membadali Abah. Aku belum tahu bagaimana gaya Abah Said ketika mengajar. Aku hanya melihat pancaran sinar di wajahnya dan sempat mencium tangannya tadi malam. Apakah secepat ini. Kitab Ihya’
Ulumuddin, aku sangat malu pada diriku sendiri ketika membacanya, apalagi harus menyampaikannya pada orang lain. Ya
Allah barikanlah taufiq-Mu.”Dan gadis pembawa teh itu menyusul muncul
dalam kegelisahannya. Pada wajahnya terpancar kemuliaan akhlak. Ia mengingat-ingat nama gadis itu. “Zul namanya, entahlah kalau jodoh juga nggak ke mana” Sesaat dia tersenyum sendiri.
Komentar
Posting Komentar