Penantian Panjang
Waktu terus berjalan. Ia tak mau berkompromi
untuk berhenti sebentar saja, apalagi untuk mengulanginya kembali. Besok adalah
hari pertama aktif kuliah bagi Zul. Di semester 8 ia fokuskan untuk menjadi abdi
ndalem di pesantren dan merampungkan
skripsnya. Zul juga mempunyai usaha kecil-kecilan untuk membantu menyukupi
kebutuhan hidup, kalau ada sisa lebih ia gunakan untuk membeli buku.
Suasana malam di pesantren mulai terasa. Awalnya
ia sempat ngekost, namun tak bertahan lama, ia mencari pesantren lagi.
Selepas ngaji malam, santri mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Tepat
pukul sembilan malam Hp Zul bergetar, ada panggilan masuk dari Fahmi. Zul
mencari tempat yang lumayan sepi agar tak terganggu. Keduanya bercakap sekitar
satu jam. Zul merasa senang dengan maksud yang diutarakan Fahmi, Fahmi ingin
melanjut hubungan mereka ke tahap yang lebih serius, masa ta’aruf yang telah
mereka jalani semakin memantapkan hati Fahmi untuk hidup bersama Zul. Kini
keduanyat tengah dalam proses penyelesaian skripsi.
Dua menit kemudian HP Zul bergetar, ada pesan masuk dari Fahmi.
“Tetap semangat untuk belajar ya, jangan cemas jika mas tak memberi
kabar untuk waktu yang lumayan lama.
Mas ingin sekali bisa hadir di acara wisuda dx Zul. Semoga Allah mempermudah
jalan kita.”
Zul merasa sangat bahagia, rasanya dia
benar-benar telah menemukan teman hidupnya. Lelaki itu telah membingkai hatinya
dengan cinta dan kasih sayang. Rasanya ia tak ingin kehilangan Fahmi,
berjalannya waktu ia semakin mencintai Fahmi. “Jagalah mas Fahmi di manapun dia
berada ya Allah, hamba sangat menyayanginya.” Do’a Zul dalam hati.
Lima bulan berlalu tanpa ada kabar dari Fahmi,
bulan-bulan itu terasa sangat menyiksanya, tapi lama kelamaan mulai terbiasa
dengan kesepian itu. Ketika rasa rindu memuncak ia hanya bisa mengirim surah
Fatihah sambil memandangi foto dan membaca kata demi kata dalam suratnya
dulu. Lirik sholawat “ Yaa Uhailal Hubbi” yang dinyanyikan dengan nada
melow sering didengarnya. “Danaku mulai takut terbawa cinta, Sentuhan
rindu yang sesakkan dada” Penggalan lirik ruang rindu yang dinyanyikan
Letto itu, juga lagu “Miss You”
oleh Westlife seperti mewakili apa yang ia rasa. Saking rindunya ia
sering kali tak bisa tidur. Cinta kadang memang sekejam itu. Namun dia selalu
menasehati dirinya “Bolehlah kau cinta dan rindu pada orang-orang yang kau
cintai, tapi janganlah sampai membuat Allah dan Rasulnya cemburu Zul”
Kalimat itu sering diulang-ulang dalam hatinya.
12 November, hari itu adalah jadwal kompre
skripsi Zul. Malam sebelumnya ia menelfon orang tuanya untuk mohon do’a agar
diberi kelancaran dan hasil yang terbaik. Ia menyiapkan ujian dengan semaksimal
mungkin, dan tak lupa di sertai do’a. Akhirnya penguji meloloskannya dan satu
bulan lagi ia akan diwisuda. Selesai ujian ia langsung mengabari orang tuanya,
terdengar suara kebahagiaan mereka.
“Alhamdulillah
terimakasih ya Allah”.
Ditunaikannya solat sunah dua rokaat ungkapan
puji syukur atas karunia-Nya. Di luar mushola kampus, seorang teman menyapanya.
“Bagaimana Zul, sukses ujiannya” Seorang cowok teman sekelasnya.
“Alhamdulillah sukses”. Jawab Zul dengan senyum
“Wah harus syukuran ini brow, emplok-emplok[1],
hehe”
“Ya siap, kapan anak kelas bisa kumpul? Aku
serahkan ke kamu dech, kalau sudah dikondisikan langsung berangkat.”
Jawab Zul dengan santai, ia berusaha menyesuaikan karakter temannya itu.
“Siap brow, ayo duluan aku ada janji sama
orang.” Jawabnya sambil sibuk memencet tombol Hp nya.
“Ya silahkan, hati-hati brow” Kata Zul
Zul merasa masih ada yang kurang lengkap, sesuatu
masih mengganjal hatinya. “Bagaimana kabar mas Fahmi ya, Nomernya tak aktif
padahal aku ingin berbagi kabar bahagia ini”. Tiga minggu terus berlalu, Fahmi
masih juga belum memberi kabar. Hatinya begitu cemas, “apa yang terjadi dengan
mas Fahmi, semoga mas Fahmi baik-baik saja.”
Zul masih gelisah.
“Ada panggilan masuk Zul”. Salah satu teman menyerahkan Hp nya. Ternyata
panggilan masuk dari Kyai Said.
“Assalamu’alaikum, gimana kabarnya Zul?”
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik, Abah
sekeluarga bagaimana?”
“Alhamdulillah baik, Seminggu lagi Abah
ada acara, kamu bisa pulang ndak Zul?”
“InsyaAllah bah.”
“Oh ya kamu wisudanya kapan?”
“Hari Rabu bah.”
“Ya sudah, Abah harap hari Senin kamu bisa pulang
bantu abah ya.”
“Insya Allah bah.”
“Ya sudah, Assalamu’alaikum.” Kyai Said
menutup telefon
“Wa’alaikumsalam.”
Waktu berlalu begitu cepat, Zul harus pulang untuk memenuhi titah Kyai
nya. Seperti sudah menjadi tradisi pesantren bahwa santri tak bisa menolak
titah Kyai. Meski di hari itu sebenarnya ada urusan lain, namun titah Kyai
tetap saja tak bisa ditunda sama halnya ketika mendapat perintah dari kedua
orang tua. Seminggu sebelum acara wisuda, Ia telah mengabari kedua orang tuanya
agar bisa hadir di acara wisuda yang tinggal dua hari lagi. Sementara dengan
Fahmi, ia sudah pasrah. Perkataan lima bulan
yang lalu, kini di ambang harapan kosong belaka. Sepanjang jalan ia
lewati dengan do’a penantian, berharap Allah akan memberi sebuah
keajaiban. Nomer Fahmi tak aktif dan akun media sosialnya juga tak pernah
aktif.
“Sudah sampai mana Zul?” pesan masuk dari Kyai Said.
“Gang masuk pesantren bah.”
Jarak gang masuk dengan pesantren kurang lebih
tiga ratusan meter. Akhirnya Zul sampai di pesantren.
“Assalamu’alaikum.” Zul mengetuk pintu.
Pesantren terlihat sepi karena semua santri sedang berlibur di rumah.
Kyai Said membuka pintu “Wa’alaikumsalam,
ayo masuk Zul.”
Betapa terkejutnya Zul, Betapa tidak, Bapak dan
ibunya telah duduk berjejeran di ruang
tengah, di samping mereka ada Pak Arifin beserta istri. Di depan barisan mereka
duduklah Kyai Yusuf beserta Istri, Kyai Said beserta Istri, Lukman dan Fahmi.
“Kamu pasti terkejut kan Zul, ayo silahkan duduk
di samping Ibumu.” Kata Kyai Said. Zul
masih tampak kebingungan. “Ada apa ini?” Zul terus bertanya-tanya.
Setelah pemanasan pertemuan selesai dan Zul terlihat lebih tenang, Tibalah pada inti
pertemuan bahwa Fahmi ingin meminang Zulaikha yang diwakilkan oleh Kyai Yusuf
selaku Wali Fahmi. Pak Hadi menyambutnya dengan tangan terbuka, namun tetap
mengembalikannya pada Zulaikha.
“Bagaimana Dik Zul?” tanya Kyai Yusuf
“Bismillah, saya terima pinangan mas Fahmi.”
“Alhamdulillahirobbil ‘Alamin.” Suara
tahmid diucapkan semua yang hadir.
“Lantas untuk hari pernikahan, ini baiknya kapan
pak Hadi?” Kyai Yusuf kembali bertanya.
“Monggo saya manut dari pihak nak Fahmi
saja. Insya Allah Zul juga bersedia. Bagaimana Zul?” Pak Hadi
mengalihkan pandangan ke anaknya.
“Iya, saya manut mas Fahmi saja.” Jawab Zul.
“Baiklah, dua minggu yang lalu saya dan Istri,
Kyai Said dan Istri beserta Fahmi, sudah merencanakan harinya, ya sebagai
persiapan saja.” Kyai Yusuf tersenyum.
Kyai Yusuf melanjutkan, “Setelah di itung-itung
hari itu jatuh pada tanggal 15 Januari sekitar satu bulan lagi. Bukan begitu
Fahmi, bagaimana Pak Hadi?”
“Leres Abah.” Jawab Fahmi
“Geh, kami juga setuju.” Kata Pak Hadi.
“Alhamdulillah, berarti maksud pertemuan
telah mencapai hasil. Semoga diridhoi Allah SWT. Amin...” Semua yang hadir mengamini do’a
kyai Yusuf.
“Oh ya lusa hari Rabu, Abah umi, Bapak Ibumu dan
Fahmi akan ke Semarang untuk menghadiri acara wisudamu, Nanti sore Zul boleh kembali
ke Semarang barangkali ada urusan lain.” Sambung Umi dengan ramah.
Fahmi tersenyum kecil, ia merasa betapa beruntung
dirinya. Dua pengasuh itu sudah seperti kedua orang tuanya. Fahmi memang sudah
tak mempunyai Ayah dan Ibu. Ayahnya meninggal ketika dia berusia 9 tahun. Sang
Ayah adalah seorang Kyai dan dosen di UIN Walisongo Semarang. Lima tahun berikutnya sang Ibu menyusul sang
Ayah akibat penyakit yang dideritanya. Ketika itu Fahmi sedang duduk di kelas 2
SMP sambil nyantri di Pesantren Munawwir
Krapyak, Jogjakarta. Di usia 14 tahun itu lah, Yang mana usia itu adalah usia
pencarian dan pembentukan jati diri, Fahmi harus melewati masa itu tanpa
kehadiran orang tuanya. Lagi-lagi ia merasa beruntung karena adik ayahnya
mengambil alih untuk mengasuhnya. Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Lirboyo
sambil nyantri juga di sana. Setelah lulus SMA entah kenapa ia ingin fokus
belajar di pondok salaf, dan jatuhlah pilihannya di pesantren Kyai Yusuf.
Ketika nyantri dia menjadi abdi ndalem, Hingga terciptalah kedekatan
intim dengan pengasuh. Hal yang sama juga ia lakukan ketika ia tinggal di
pesantren Kyai Said, Lagi-lagi Fahmi kembali berhasil memikat hati kyai Said
dan Istri.
Setelah acara selesai Kyai Yusuf mohon undur
diri. Di ruang tengah itu keluarga pak
Arifin dengan keluarga pak Hadi berbincang hangat melepas kerinduan, Fahmi dan
Lukman keluar sebentar untuk mengantar Kyai Yusuf sampai di perbatasan desa.
Sementara Kyai Said dan istri menemui tamu di ruang depan.
“Dek Zul terkejut kan dengan kehadiran kami di
sini.” Kata Bu Arifin dengan ramah.
“Iya bu, saya hampir tak percaya. ngomong-ngomong
bagaimana ceritanya Ibu dan Bapak bisa sampai di sini?”
Ibunya Zul menyela perbincangan itu. “Jadi
begini, lima bulan terakhir nak Fahmi selalu menghubungi Bapak dan Ibu. Jadi
nak Fahmi tahu informasi penting tentang kamu. Sebenarnya nak Fahmi sudah
pulang sejak sebulan yang lalu, nak Fahmi menyampaikan ingin meminang kamu, dan
ternyata jatuh di hari ini, dua hari sebelum kamu diwisuda. Setelah ada
kesepakatan yang pasti, Bapak Ibu tak mau melewatkan saat bahagia ini tanpa
kehadiran Pak Arifin dan Ibu. Bapak telepon pak Hadi dan kebetulan Pak Hadi
beserta Ibu bisa hadir. Kami sekongkol[2]
dengan nak Fahmi dan nak Fahmi sengaja tak menghubungimu lebih dulu karena
ingin memberi kejutan.”
Perbincangan hangat terus berlanjut. Setelah
dirasa cukup keluarga Pak Arifin juga mohon undur diri. Di pintu ruang tamu
mereka berpapasan dengan Fahmi dan Lukman. Keduanya langsung mencium tangan pak
Arifin. Keluarga pak Arifin pun meneruskan langkahnya untuk pulang. Di ruang
tengah itu tinggal Fahmi, Lukman, dan Zul. Orang tua Zul istirahat di kamar
tamu.
“Bagaimana kabarnya Dik Zul?” tanya Fahmi
“Alhamdulillah baik, mas Fahmi jahat
sekali tak memberi tahu semua ini. Selama berbulan-bulan aku cemas dengan
keadaan mas.”
“Kan mas dulu pernah bilang, kamu ingat kan di
telepon terakhir mas, dan inilah saatnya.” Jawab Fahmi dengan tenang.
Lukman menyela “ Fahmi kau begitu tega membuat
cemas Dik Zul, tapi Dik Zul juga harus bersyukur, ini semua merupakan wujud
keseriusan Fahmi selama ini. Aku salut dengan hubungan kalian berdua. Wah, Dik
Zul tak balik nanya kabar Fahmi ni? Hehehe”
“Mas Fahmi bagaimana kabarnya?” Tanya Zul sambil
tersenyum malu.
“Alhamdulillah baik, sudah memaafkan mas
ini? Hehe... Dik Zul bahagia kan?” Fahmi
kembali bertanya.
“Masih marah ini, hehe...Iya mas aku sangat
bahagia, kecemasanku selama ini telah hilang, oh ya kang Lukman bagaimana
kabarnya?”
“Alhamdulillah, kalian tunggu saja ya akan
ada undangan sebentar lagi.”
“ Wah...kau curang kang, ada kabar bahagia yang
kau simpan dariku.”
“Kata siapa? Tak pernah ada rahasia kan di antara
kita.” Jawab Lukman malah menggombal dengan Fahmi.
Hahaha...mereka bertiga tertawa. Kalau sudah
kumpul memang humor selalu mewarnai percakapan mereka. Dua minggu lagi,
ternyata Lukman juga akan menunaikan sunnah Rasul dengan Naili.
“Oh ya Dik Zul, ada hal yang ingin mas
bicarakan.”
“Tentang apa mas?” jawab Zul dengan penasaran.
“Mengenai masa depan kita. Ketika mas di Tuban,
Abah Yusuf meminta agar setelah menikah kita tinggal di sana, namun beliau tak
memaksa. Ketika mas sowan ke Abah Said, beliau juga menawarkan supaya menempati
rumah kosongnya di samping pesantren agar bisa membantu mengajar, itupun kalau
kita tak keberatan. Di sisi lain Almarhumah ibu mas, dulu pernah
berpesan agar kita menempati rumah keluarga mas dulu yang kini ditempati oleh
paman Hasyim, beliau adalah Adik Ayah. Dulu Ayah disibukkan untuk ngopenijama’ah
dan mengajar di kampus. Sedangkan Ibu mengabdikan dirinya untuk mengelola panti
asuhan yang tak jauh dari rumah. Ayah dan Ibu juga mempunyai koperasi yang
anggotanya terdiri dari jama’ah Ayah. Terus seminggu yang lalu paman
Hasyim telfon agar mas lekas pulang untuk melanjutkan tugas Ayah dan Ibu.”
Zul dan Lukman mendengarkan Fahmi dengan seksama.
“Ya sudah mas, nanti Adik minta pertimbangan sama
Bapak dan Ibu dulu, bagaimana baiknya untuk kita.”
Sore itu juga Zul berangkat ke Semarang. Dua hari
berikutnya Auditorium dua kampus tiga di penuhi para peserta wisuda, keluarga
serta kolega peserta wisuda dari berbagai kalangan. Para pedagang turut
memadati jalan masuk kampus, hingga terjadi macet panjang arah jerakah-Ngaliyan.
Kyai Said dan Istri, orang tua Zul dan Fahmi memenuhi janjinya. Harapan Zul
yang sempat kecewa terbayar sudah. Setelah selesai wisuda Zul pulang ke
Purwokerto untuk mempersiapkan pernikahannya.
Lima belas Januari telah tiba, Pak Arifin
menggelar hajatan besar pernikahan anak semata wayangnya. Kerabat, teman, dan
kolega berduyun-duyun memberi do’a restu untuk kedua mempelai pengantin.
Fahmi berangkat dari Tuban ditemani keluarga kyai Yusuf, keluarga kyai Said,
dan rombongan dari Jakarta yang dipimpin oleh paman Hasyim.
Tibalah saat prosesi akad yang dipimpin oleh Kyai
Yusuf. Hingga terdengar ucapan dari para
hadirin
“Sah.....” Kyai Yusuf lantas berdo’a. Kemudian Zul keluar dengan
balutan gaun putih, Zul terlihat sangat cantik dan menawan. Ia duduk di samping
Fahmi dan untuk kali pertamanya mencium tangan Fahmi, Fahmi pun mencium kening
Zul dengan penuh rasa cinta.
Keduanya sungkem dengan Bapak Ibunya Zul, dan
Kyai Yusuf besrta istri menjadi wali Fahmi. Tiba-tiba istri Pak Arifin
mendekati Zul.
“Zul, bolehkah ibu memelukmu.” Bu Arifin memeluk
Zul dengan menangis. “Ibu merasa seperti sedang memeluk Ais.” Lanjut Bu Arifin.
Zul tak tahan dan ikut menangis.
“Iya bu, andai saja Ais bisa hadir di hari
bahagia ini.” Kata Zul.
Pak Arifin mendekati Istrinya dan berkata
“Sudahlah bu, Ais sudah tenang di sana. Ayah sudah menganggap Zul seperti anak
kita. Jadi hari ini, kita juga sedang merayakan pernikahan anak kita.”
Pak Hadi mendekat dengan kursi rodanya. “Iya
benar kata Arifin, Zul adalah milik kita bersama. Iya kan Bu?” Ia menoleh
istrinya.
“Iya benar.” Mereka semua menangis dan tersenyum
bahagia.
Itulah pernikahan dua insan yang saling mencintai. Wujud kasih sayang
Tuhan kepada hambanya untuk menyalurkan fitrah rasa cinta melalui bingkai
hubungan yang mengangkat martabat manusia. Setelah seminggu di rumah Zul,
keduanya pindah ke Jakarta menempati rumah keluarga Fahmi dulu. Tak lupa orang
tua Zul juga ikut pindah bersama mereka.
“Bagaimana
dengan tempat baru kita, apa Dik Zul bahagia?”
“ Adik merasa sangat bahagia mas. Bahkan ini
lebih dari cukup.”
“ Usahakan Bapak dan Ibu bisa senyaman mungkin di
sini. Sekarang mereka adalah orang tua
mas juga.”
“Iya, terimakasih mas.
Sambil menyeruput teh, Fahmi melanjutkan. “Sambil
mengisi kesibukan, Mas berkeinginan untuk melanjutkan studi lagi, bagaimana
menurut Dik Zul?”
“Niat yang
bagus itu mas, ketika keadaan memungkinkan besok Adik juga ingin belajar lagi.”
Kata Zul sambil mengusap tangan Fahmi yang terkena tumpahan teh.
“Tidak apa-apa Dik, asal kita bisa membagi waktu
dengan baik itu tak ada yang salah. Tapi keluarga dan pendidikan anak harus
tetap menjadi prioritas utama.” Fahmi berhenti sejenak, memegang tangan Zul.
“Dik Zul mas sangat bahagia bisa memilikimu, mas mencintaimu.”
“Adik juga mencintai mas.”
Keduanya larut dalam penunaian hak suami istri sebagai penyempurna ibadah.
Pernikahan tidak hanya sebagai penyalur kebutuhan biologis saja, namun juga
tempat untuk mencurahkan kasih sayang, keamanan dan ketenteraman. “Dan di
antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah ia meciptakan pasangan-pasangan untukmu
dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa aman tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir.”
Sungguh maha benar Allah atas
Firman-Nya.
Komentar
Posting Komentar