Bukan Sekadar “Ompreng”, Siapakah Dia?

Foto: Istimewa

Mendengar nama ompreng telinga kita akan memerintahkan otak dan mempekerjakan seluruh sel-sel tubuh untuk menuju pada satu titik alat perabot rumah tangga. Yah, itulah ompreng, dia terbentuk wadah untuk memasak berbahan dasar seng di desain sedemikian rupan sehingga menjadi alat yang bermanfaat. Keberadaannya sebagai kebutuhan pokok manusia untuk keberlangsungan hidup. Ia selalu menjadi tumbal terakir. Dirinya rela di taruh tempat-tempat yang kebanyakan manusia selalu jijik mendekatinya.

Tak hanya itu saja, ompreng berjasa terhadap bahan makanan yang sedang diolah untuk dikonsumsi manusia. Bayangkan kita hidup tanpa ompreng apalah jadinya keadaan rumah tangga yang sudah terjalin sedemikian rupa. Manusia selalu melihat sesuatu keadaan hanya sepenggal dan dari sudut yang sempit. Ketika ada barang bagus di sebuah toko mereka langsung tertarik dan sebisa mungkin untuk membelinya, sedangkan barang itu sudah ada dirumah. Nafsu untuk selalu memiliki tumbuh secara continue dalam diri manusia.

Ompreng milik ibuku kondisinya sudah pada level sufistik. Ia sudah tidak lagi mempunyai pegangan untuk mengangkatnya. Pegangan itu tampak patah, terlihat jelas ada bekas patahannya yang menjadi sebuah kenangan. Oh.. tidak, bagaimana perasaan dia jika sudah tidak memiliki pegangan untuk memudahkan manusia sebagai alat untuk memasak. Belum lagi solotan api kompor hingga berjam-jam membaka bagian dasar pada dirinya. Memang sudah ada yang penyok-penyok karena seringkali jatuh, usianya pun aku tiak tahu berapa tahun ia setia menemani kompor ibuku. Tidak penting-pentng amat sebenarnya, tapi kasihan juga kalau dia selalu dijadikan alat untuk keberlagsungan hidup manusia, namun kondisinya tak pernah diperhatikan sama sekali.

Berbeda halnya dengan ompreng milik anak-anak pondok di desa ku. Hampir rata-rata ompreng miliknya sudah tidak lagi seperti ompreng pada umumnya, warnya hitam sekali, hampir setiap tangan kita menyoleknya akan membekas pada kulit kita warna hitam itu, orang-orang biasanya menyebut dengan “angus”, apalagi itu angus, serbuk berwarna hitam yang menempel pada ompreng hasil dari pembakaran. Biasanya sih kalau memasak pakai kayu bekas pembakaran pada ompreng akan membentuk serbuk hitam yang biasa dinamakan “angus”.

Membicarakan ompreng memang akan sangat menarik jika kita memandang dari sudut yang beraneka ragamnya. Keberadaanya sungguh berjasa bagi manusia. Ia sebagai benda mati yang sangat rela menjadi alat untuk terus dibakar setiap hari. Apakah Tuhan akan memberikan pahala berlipat kepada ompreng karena ia sangat setiap kepada kehendaknya, ataukah ompreng ini memliki mu’jizat seperti Nabi Ibrahim yang tahan api. Saya rasa itu sah-sah saja asalkan penempatan hukum dan kesepatakan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk, dan manusia dengan Tuhan membentuk suatu keputusan yang bisa diterima oleh semua hal.

Ompreng bukan barang sepele, ia tidak pernah merasa berjasa, hanya mungkin saya yang menyebut ia berjasa kepada manusia. Dia itu sangat suci, toh kalaupun kita selesai memakainya juga tidak langsung membersihkannya, biasanya ketika kita memeasak nasi menggukan ompreng masih ada bekas kerak beras yang tersisa, atau biasa disebut dengan “Intep”. Intep juga bisa diolah kembali menjadi sebuah makanan yang sangat enak, tapi itu semua berkat ompreng juga sih.

Anehnya lagi ada teman saya yang mempunyai nama sejenis dengan Ompreng. Orangnya agak unik, tektur tubuhnya kalau mau dilihat juga mirip dengan ompreng milik ibuku itu, siapa saja yang mengenalnya ia akan tampak humoris, aneh-aneh saja, ada anak kok namanya ompreng,,, tidak masalah sebenarnya aslakan dia mempunyai watak seperti ompreng, saya yakin tuhan akan menyandingkan dia di syurga nanti dengan Nabi Ibrahim. Aminn...

Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan

(Mahasiswa akhir)

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe