"Malam Tirakatan" Mewariskan Nasionalisme kepada Anak-Cucu

Foto: Istimewa

Setiap menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) RI semua rakyat hingga pemerintah tumpah ruah, berlomba-lomba membentuk event dalam rangka mewujudkan nasionalismenya sebagai bangsa. Fenomena menarik di Indonesia munculnya tradisi yang hampir tidak dimiliki oleh bangsa manapun. Kalau menjelang hari raya Idhul Fitri, tradisi mudik, pulang ke kampung halaman menjadi adat yang tak bisa diputuskan. Nah, ini ada tradisi semacam malam perayaan pra tanggal 17 Agustus. Setiap warga di kampung-kampung, pelosok desa sekalipun mempercantik tatanan desa hingga halaman rumahnya. Sang saka merah putih berkibar di depan rumah, jenis umbul-umbul berjejer rapi di jaan-jalan. Pokoknya kain berwarna merah-putih seolah menjadi bahan keramat. 

Kecintaan rakyat Indonesia terhadap negaranya tidak bisa diputus oleh siapa pun, sejak merdeka tahun 1945 entah bagaimana pola perilaku para pelaku sejarah kemerdekaan kepada generasinya, sampai membuat hati mereka tak tertawarkan demi NKRI. Slogan NKRI harga mati bagian kecil dari nasionalisme rakyat Indonesia, mereka tidak butuh identitas secara kasat mata, toh penjajah datang kembali ke Indonesia kekuatan bangsa Indonesia jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Kembali pada fenomena malam tirakatan merupakan suatu peristiwa yang tidak penting siapa pencetus utamanya, melainkan semua rakyat hingga berbagai unsur melakukannya demi Indonesia.

Pertahanan NKRI hanya tampak pada suatu sistem masyarakat yang terus melakukan hubungan persaudaraan antar golongan. Kalau menurut Rosulluloh Muhammad Saw “Siapa saja yang mengangap seseorang saudara, padahal dia tidak sudara, maka mereka merupakan golongan orang yang akan masuk syurga”.

Pada malam itu beberapa rombongan orang disekitar rumah berduyun-duyun menuju pos kampling sebagai pusat acara malam tirakatan. Semua warga kampung tumplek blek mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang-orang tua antuasis sekali, kegiatannya bermacam-macam mulai berdoa bersama, menyayikan lagu-lagu nasional, intinya memahami Indonesia melalui kegembiraan. Inilah yang saya maksud kekuatan bangsa Indonesia meningkat hingga berlipat-lipat.

Kalau zaman dahulu masih ada benuran tatanan sistem dimana Islam sebagai ajaran baru, seiring dengan bagaiman para Walisongo dengan berbagai cara meyakinkan masyarakat dengan membentuk sistem anatara Islam dan kebudayaan atau tradisi masyarakat Jawa tidak salin bertentangan, maka perstiwa ini masuk dalam fase pembaharuan nilai. Pada saat itu juga para prompak dari luar datang masuk dan menjarah rakyat Indonesia, dengan memaksimalkan dan berupaya dengan keadaan yang ada, atau biasa disebut dengan perang gerilya, maka kekuatan mereka pun hanya digenggaman tangan saja.

Pada era sekarang semakin rakyat giat dalam bertemu, bertegur sapa dengan bersilaturahmi satu sama lain. Melalui malam tirakatan ini sebenarnya ada fenomena besar yang tidak disadari oleh siapapun. Saya mencoba untuk menggali dari setiap yang terkandung dalam memperingati kemerdekaan republik Indonesia. Pertama, kemerdekaan itu muncul karena adanya penindasan, jika sudah terjadi penjajahan maka tugas utamanya adalah memebaskan penjajaan itu sendiri, seperti halnya penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan perikeadilan. UUD sudah memberikan arah bahwa kemerdekaan capaian setiap orang yang merasa terjajah.

Kedua, jika sudah merdeka tugas selanjutnya adalah mempertahan kemerdekaan, mempertahankan saat ini disalah artikan, dikira jika penjajah sudah tidak tampak secara fisik tidak perlu mempertahankan kemerdekaan. Itulah menurut saya cara berfikir yang terbalik, kalau memang ingin mempertahankan kemerdekaan dari penjajah, selama itu pula sampai generasi yang akan datang wajib hukumnya menjaga Indonesia. Ketiga, jika mau dihitung-hitung usia Indonesia dengan usia daerah Kabupaten/Kota di seantero negri ini sangat tidak sebanding. Bayangkan dengan Tuban saja yang sudah masuk pada 724 tahun, Indonesia baru 72 tahun, ibarat garis gen-nya sampai pada generasi yang ke 10 lebih jika pedomannya rata-rata usia manusia.

Peristiwa nasionalisme oleh Bung Karno sudah dipidatokan denga suara lanang, tapi banyak rakyat yang tidak faham dengan bahasa Bapak Proklamator, yang mereka tahu adalah bagaimana berjuang bersam malewan penjajah, mengankat bambu runcing, bergerilya tengah malam, menyusun strategi untuk melekdakkan tank kolonial, itulah fenomena rakyat Idonesia, artinya kita ini masih punya banyak masalah, jangan hanya berbicara mengenai konsep dasar akar suatu permasalahan. Indonesia tidak membutuhkan teori, pedoman meraka adalah jika semua bisa diselesaikan oleh diplomasi yang selesai, jika masih ngeyel dladeni dengan cara mereka sendiri. Betapa kuat dan kokohnya bangsa Indonesia ini menjaga persatuan dan kesatuan.

Satu hal tentang pentingnya memaknai kemerdekaan, sebagai rakyat baik itu pedagang, buruh, kondektur, tukang becak, dst, selama itu pula mereka bertanggung jawab menjaga kedaulatan NKRI, tentara sebagai poros kedua, poros utamnya adalah rakyat. Berbagi serangan informasi sudah mulai masuk ke anggota tubuh NKRI, pertahanannya ada pada rakyat, dan kekuatannya terjadi pada kolabirasi dari semua elemen, baik itu hablum minallah hablum minannas harus tertancap dalam setiap jiwa bangsa Indonesia. Puncakya adalah berdoa bersama pasrah kepada Allah atas kebaikan dan kejayaan NKRI. Kalau hanya tirakat mungkin kekuatannya 50% saja, jika sudah ada proses rohani, maka dari 50% itu akan berlipay menajdi beribu-ribu peluru sebagai benteng pertahan negra dan jiwa setiap bangsa Indoensia.

Memontum seperti halnya malam tirakatan memperingati kemerdekaan RI merupakan bagian dari konsolidasi nasional untuk mewariskan nilai-nilai nasionalisme terhadap anak cucuk kita kedepan supaya sedikit ikut merasan bagaiman sulitnya membayar sebuah kemerdekaan. Sebab tanpa melakukan perawatan terhadap Indonesia tidak ada jaminan generasi kedepan menyadari dirinya sebagai keturan bangsa besar. Mengapa bangsa besar? Peradaban yang telah dibangun sudah sedemikan rupa hingga bertahan berabad-abad lamanya. Fase saat ini sebagai fase pewaris dan merawat secara bersama untuk membentuk karakter bangsa yang adil dan beradab, sehingga nantinya akan membentuk suatu persatuan dan kesatuan Indoensia dengan kepemimpinan yang hikmat penuh dengan kebijaksanaan dan puncaknya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.



Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan


Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe