“Devident of Impera” Menu Favorit Bangsa Indonesia


Foto : Istimewa

Suhu politik yang memanas terasa sangat mewarnai hiruk pikuk kehidupan masyarakat di negri NKRI, beberapa kejadian dan isu yang berkembang merupakan hasil dari pola pikir segelintir orang yang ingin memanfaatkan situasi tertentu, sehingga mereka dan kelompoknya ingin mengambil alih kekuasaan dari kelompok lain yang saat ini memegang kendali tampuk kekuasaan di NKRI. Munculnya Perppu, pembubaran HTI, terbitnya full day school, E-KTP, hingga penggugatan UU ambang batas presisen ke MK merupakan ledakan dari “Devident of Impera”. Mengapa demikian? Istilah Devident of Impera muncul ketikan belanda membuat negara boneka karena kepentingannya ingin menguasai wilayah NKRI.

Kebijakan yang dilakukan belanda selalu menimbulkan terpecahnya kelompok diberbagai sektor. Kebijakan pemerintah akhir-akhir ini bisa kita saksikan diberbagai media massa yang beragam jenisnya.  Media sebagai alat informasi sangat membantu kita dalam mengetahui keadaan dan bisa menentukan langkah maupuan sikap yang akan kita lakukan dalam menanggapi suatu kebijakan. Beberapa hari terakhir telah terjadi demo besar-besaran mengenai full day school yang dilakakan oleh kelompok tertentu dengan alasan ketika nanti kebijakan tersebut diberlakukan maka akan mengganggu keberadaan sekolah madrasah/diniyah yang biasa dilakukan ketika sore hari. Selain masalah tersebut yang paling hangat adalah Perppu no 2 tahun 2017 tentang pembubaran ormas. Saya melihat kebijakan yang berefek pada keberadaan ormas yang dianggap pemeritah anti pancasila harus dibubarkan, sehingga peraturan tersebut memunculkan reaksi dari berbagai pihak dengan menentang kebijakan tersebut berasalan menciderai Hak Asasi Manusia sebagai bangsa berdiri pada Binekha Tunggal Ika.

Kalau melihat dari sudut pandang munculnya suatu kebijakan yang di buat oleh pemerintah dan menimbulkan reaksi ketidaksesuaian suatu kelompok, sehingga terjadi demo tolak-menolak, tidak hanya itu, kemampuan untuk melakukan kecaman atau reaksi keras sehingga menyeret seseorang yang mempunyai pengaruh untuk mendukunya, maka hal semacam ini bukan lagi dinamika politik atau kehidupan, melainkan Devident of Impera.  Jika hanya sebatas pada kurangnya pisau analisis mengenai kebijakan tersebut, serta kurangnya keterlibatan elemen masyarakat yang merasa dirugikan maka harus ada suatu diskusi panjang sebelum menerbitkan suatu kebijakan.

Banyaknya kelompok atau organisasi di Indonesia harusnya mampu mewujudkan keharmonisan suatu bangsa, bukan untuk mempertahankan kebenaran dari kelompok tersebut sehingga dari mempertahankan perbedaan menjadi saling menyalahkan satu sama lain. Indonesia menjadi suatu bangsa terlahir dari rahim seorang ibu pertiwi yang cantik jelita bertempat tinggal di belahan bumi bagin timur bernama NKRI. Semua elemen yang ada di tubuh bangsa ini diejawantahkan sebagi Ibu, tanah air disebut ibu pertiwi, pusat pemerintahan disebut ibu kota, ketika orang memberi apresiasi melalui salah satu jari tangan ibu jari, artinya bangsa Indonesia tidak serta merta muncul begitu saja, ada sebuah proses panjang yang namanya sejarah. Munculnya sebuah kebudayaan yang sampai saat ini kita nikmati bagian dari proses dinamika kehidupan yang ada. Segala bentuk dan ragamnya mampu merubah atmosfir bangsa ini berbeda dari yang lainnya.

Memasuki abad 21 ini seharusnya bangsa Indonesia mampu membrikan contoh positif bagi dunia yang sedang diributkan tantangan kapitalisme dan matrealisme. Kekayaan sumber daya alam kita seharusnya mampu menjadi sebuah simbol bahwa kita ini merupakan bangsa besar. Seringnya kita menjelma menjadi manusia dengan mengakui membawa kebenaran, maka kita akan selalu tertipu oleh dunia. Kebenaran dunia sebenarnya tidak perlu dipertahankan, malainkan bagaimana cara merawat dan mengelola sehingga menjadi sebuah kemaslahatan yang bisa dinikmati oleh setiap kalangan. Kalau kita tidak pandai dalam mengelola api maka semua disekitar kita akan terbakar, sekalipun api itu kecil. Kita makan disuguhi berbagai menu, tanpa kita membuat kesepakatan terdahulu dengan kadar tubuh kita maka kehancuran akan datang, sebab tanpa membuat kesepakatan sehingga terjadi suatu keputusan mau makan apa, maka semua menu akan kita sikat, itulah kehancuran suatu bangsa. Ketika pemerintahnya merasa masih kurang, maka segala sesuatu akan ia lakukan demi terwujudnya keinginan yang tidak akan ada habisnya jika selau dituruti.

Manusia dianugrahi akal oleh Tuhan berfungsi sebagai alat kontrol dalam menentukan segala hal, baik itu sebagai manusia yang diberikan amanah “Khalifatulloh fil Ardhi” yang esensi dasarnya adalah menciptakan rasa aman terhadap lingkungan sekitar sehingga terwujudnya masyarakat adil makmur dan sebagai insan religius yang memiliki tanggung jawab menjaga aqidah diri sendiri, jangan sampai memperlihatkan bahwa aqidah kita yang balik benar. Memang akhir-akhir ini perang sudah sangat canggih, dari memunculkan kata-kata di media sosial kita bisa menjatuhkan orang lain, apalagi menggunakan agama sebagai alat untuk jihad. Kalau Rasululloh Muhammad Saw mengungkapkan kepada umat Islam usai perang badar “wahai umatku kita pulang dari perang kecil menuju perang besar, musuh besar sudah berada dihadaoan kita”, para sahabat heran balik bertanya “siapa dia Ya Rasul?”, kemudia Rosululloh menjawab “musuh kita adalah hawa nafsu”. Pesan Rosululloh memberikan gambaran bagaimana musuh sejati dan yang nyata merupakan hawa nafsu. Sebagai manusia yang memiliki hawa nafsu, fokus utama dalam berjihad adalah bagaimana sebaik mungkin bisa mengendalikan hawa nafsu supaya tidak sampai mengalahkan diri kita sendiri.

Manusia sekarang lupa akan pesan yang disampaikan oleh Rosululloh, kebanyakan orang menyerukan supaya mengikuti perilaku Rosul, sehingga semua sibuk bergaya seperti Rosululloh sampai pada akhirnya lupa sebagaimana pesan Rosululloh kepada umat Islam. Keadaan semakin parah ketika mereka memaksa kepada orang lain agar meniru dia sebagaimana ia meniru Rosululoh. Maka muncul terminologi agama sebagai alat untuk berjihad, padahal posisi agama bukan sebagai alat, agama hadir sebagai pesan umat manusia supaya menjaga persatuan dan kesatuan satu sama lain, kalau meminjam istilah Gus Dur dikenal dengan “Ukhuwah”. Kesalahan bertindak inilah bersumber dari sifat radikalisme pada diri kita, yaitu memaksakan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti kelompok tertentu, kalau tidak ia bisa dikatakan sesat.

Faham-faham yang beranekaragamnya di Indonesia seharusnya menjadi contoh ijtihad para ulama’ untuk membirakan hidangan berupa fatwa yang bisa di nikmati oleh semua elemen masyarakat. Sejak lama rakyat sudah merindukan bagamana terwujudnya Binekha Tunggal Ika, praktek yang terjadi adalah sibuk dengan perbedaan karena berdasar pada satu idiologi Hak Asasi Manusia. Bentuk negara demokrasi mendukung akan perbedaan itu merupakan hak setiap warga negara, ketika seseorang berpendapat atas dasar hak asasi maka yang terjadi adalah bangga akan kebenaran yang ia yakini. Padahal hidup didunia tidak ada kebenaran, tugas manusia adalah selalu berijtihad terus menurus untuk menemukan kebenaran sejati. Kalau bertengkar karena mempertahankan kebenaran kelompok, sesungguhkan dinamika yang terjadi merupakan sebuah kepalsuan pendapat, sebab orang yang tidak tahu asal-usul masalah mereka cenderung merasa bingung mau ikut yang mana, padahal yang sesungguhna mereka harapkan adalah bagaimana bersatu padu untuk mewujudkan “baldatun toyyibtun warobbun ghofur” .

Indonesia mayoritas umat Islam, tetapi tidak merata dipelbagai sektor pulau mendominasi, seharusnya kita (umat muslim) mengoreksi dirinya, ketika di Jawa jumlahnya terbesar, bagaimana dengan di Papua atau Indonesia bagian timur. Pekerjaan rumah kelompok mayoritas adalah menjaga keutuhan persaudaran, bukan hanya sekedar keutuhan NKRI, kalau NKRI cukup pemeratah melalui petugas keamana negara. Nah, bagaimana persaudaraan, kasih sayang, cinta-kasih, dan hubungan yang mesra antar suku, agama, dan berbagai macam jinis ragam yang ada itu tugas kita (umat Islam). Jangan hanya kita sibuk akan ketidak sesuain idiologi maupun perbedaan pendapat, lantas kita bermusuhan. Devident of Impera jangan terus dipelihara sehingga menjadi menu favorit. Lantas framingnya adalah berbeda pendapat merupakan hak warga negara demokrasi. Hal semacam itu akan berakibat pecahnya kapal NKRI, jika sudah pecah dengan mudah kita akan tenggelam, maka mustahil anak bangsa akan mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe