Penghuni Baru
Foto: Istimewa |
Suasana
mencekam tampak di sebuah gedung besar sebagai pusat kegiatan empat orang
aktivis kampus yang terkenal aktif diberbagai event. Mulai peringatan hari
besar nasional hingga beberapa perigatan penting yang tidak tercantum dalam
kalender nasional, seperti malam Nuzulul Qur’an, HUT Rt/Rw, hingga hari ulang
tahun sang proklamator kemerdekaan RI Bapak Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta. Jun merupakan komandan dari Alan, Irul, dan Hasan. Ke empat orang
tersebut anak rantau yang tidak jelas statusnya, kalau di kampus mereka berpenampilan
layaknya seorang pejabat tinggi, jika sedang beraktifitas diluar tidak jauh beda
dengan penjual koran jalanan
Matahari
terbit menyinarkan cahaya terik pada hari minggu yang sangat indah. Kopi dan sebungkus
rokok Dji Sam Soe sudah tersaji dihadapan Jun. Keseharian mereka saat tidak ada
kerjaan adalah memanjakan diri duduk di depan teras gedung besar itu. Tampaknya
angin yang berhembus tidak menghadirkan udara segar.
“Jun,
ada rencana untuk pergi kepasar tidak?” tanya Irul mendadak datang sebari
menyeruput kopi di depan Jun.
“Malas
aku, suruh yang lain saja” Jawab Jun dengan nada datar
Pada
hari itu Jun sedang kurang cerah wajahnya, karena semalam ia tidak berhasil
melakukan misinya untuk mengajak Menik kencan, anak pak Rt yang cantik jelita.
“Bagaimana
tadi malam Jun?, sukses atau kurang beruntung, koq wajahmu tertekan seperti
itu?” Tanya Hasan sambil merangkul Jun
“Entahlah...”
Jawab Jun kembali dengan nada datar.
“Sepertinya
kamu harus berbenah, mulai dari otak, hati, ucapan, apapun itu dalam dirimu harus
engkau benahi. Sebelum terlambat, bantuan setan bisa saja datang, musuhmu
adalah raksasa. Jika hanya Pak Rt saja aku tak meragukanmu, tapi nafsu besarmu
yang terbalut oleh kepentinganmu itu yang menjelma menjadi raksasa” ucap Hasan
menasihati Jun yang sedang kecewa
Suasana
sedih sedang menimpa Jun, karena ia sedang meratapi perasaan kecewa setelah
ditolak penawarannya oleh Menik hendak malam minggu di tengah kota. Jun merasa
terpukul sekali, sejak lama ia menginginkan momentum yang indah bisa berjalan
dan merasakan suasana harmonis bersama Menik.
Secangkir
kopi terus diseruput secara bergantian disusul dengan hisapan batang rokok
penuh penghayatan. Mbah Pardi, seorang penjual koran melintas didepan gedung
megah tempat tinggal Jun dkk. Usia Mbah Pardi sudah lanjut, tetapi masih sangat
kuat dan tampak sehat dalam beraktifitas. Berpuluh-puluh tahun ia berprofesi
sebagai penjual koran untuk menghidupi keluarganya.
“Mas
koran,,, Isunya Presiden mau dilengserkan loo.” kata Mbah Pardi sambil
menawarkan koran kepada Jun dkk saat melintas di depannya.
Hasan
langsung bangkit dari tempat duduk menghampiri Mbah Pardi, tanpa banyak tanya
Hasan mengambil koran yang ditawrakan Mbah Pardi barusan. Hasan tampak serius
membacanya, sampai tidak ada yang bisa melerai, sekalipun Mbah Pardi bermaksud
meminta uang korannya. Kesabaran Mbah Pardi tampaknya sudah berada diatas
kewajaran. Hampir sejam Mbah Pardi menunggu Hasan membaca semua tulisan dari 30
halaman koran secara lengkap, tak luput juga iklan dan berita lelayu. Daya
membaca Hasan sangat luar biasa dibanding kawan-kawannya, tidak heran dalam
sisi intelektualitas Hasan yang paling unggul.
“Mas,,,sudah
satu jam saya menunggu. Mau bayar ndak?” tanya Mbah Pardi dengan nada marah
“Saya
bayar ongkos menunggu saja ya Mbah, ini ada sebatang rokok untuk Njenengan Mbah” Jawab Hasan agak merasa
ketakutan.
“Bukanya
dari tadi, kamu hampir habis sebungkus, tinggal sisa sebatang saja kamu buat
ongkos baca... Payah kamuu..!! kata Mbah Pardi sambil menyalakan rokok
pemberian Hasan hendak melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa
terakir pemberitaan di media massa keadaan negara sudah tidak kondusif,
gencarnya isu akan diturunkannya sang Presiden dari tahta kekuasaan,
menyelimuti rasa kegelisahan yang sangat mendalam bagi para pendukungnya. Jun
tidak menghiraukan masalah itu, dia beranggapan sekalipun negara tidak ada,
tidak masalah baginya. Asalkan jangan sampai ia dipisahkan dengan Menik.
Hari
sudah menjelang sore, Jun tak beranjak dari tempak duduknya, bersamaan juga
wajah murungnya tak kunjung cerah. Kopi terus disedu untuk menetralisir fikiran
Jun yang sedang tidak stabil. Ia berharap Menik datang mengajak ia pergi
membeli arumanis di perempatan pasar tempat mereka pertama kali saling bertatap
muka. Keadaan hati Jun saat ini tidak semanis kala itu.
“Selamat
sore mas,,, apakah anda mengenal Junedi,?” tanya seorang bertebuh kekar,
berambut gondrong
“Ya,,saya
sendiri,,ada yang bisa dibantu,?” Jawab Jun penasaran
“Saya
dari PT Gempur Makmur memberikan surat peringatan kepada saudara Jun dan kawan-kawannya
untuk bersedia menandatangani pembebasan lahan bangunan ini yang segera akan
dibangun jalan tol. Tetapi mohon maaf, karena bangunan ini tidak lengkap
surat-suratnya, maka hanya mendapat ganti rugi pembebesan lahan saja. Ini
sesuai dengan data yang kami dapatkan,!” Terang pria betubuh kekar dan berambut
gondrong.
Seketika
Jun tidak langsung merespon, ia tertunduk dengan wajah yang bertambah murung.
Sepertinya dewi fortuna sedang tidak memihak kepada Jun. Alih-alih ingin
menggembirakan perasaannya malah datang beban masalah yang sepertinya akan
membuat beban yang bertambah bagi Jun. Jun merasa kecewa terhadap dirinya
sendiri, harapannya menik yang datang, tak disangka ada petugas pembebesan
lahan Gedung tempat Jun tinggal. Teman-teman setia Jun kebetulan sedang tidak
berada di gedung besar itu. Sejak pagi setelah Hasan memebaca koran,
satu-persatu meninggalkan Jun. Dengan tegar Jun mencoba berdialog dengan
petugas pembebasan lahan, karena Jun merasa hal tersbut tidak adil. Sebab hanya
tempat tinggal Jun yang terkena, sedang bangunan atau rumah disekitar wilayah
Gedung tersebut sama sekali tidak tersentuh
Perdebatan
berlangsung hingga berjam-jam. Suasana semakin mencekam, Jun tampak tidak bisa
mengontrol dirinya. Keadaan hati Jun sendang diselimuti awan pekat yang sangat
gelap. Petugas pembebesan lahan senada dengan Jun tidak mau kalah oleh orang
yang jauh lebih muda darinya. Jun bukanlah orang yang bertipakal menyerah
sebulum titik darah penghabisan. Ia akan terus menggunakan keahliannya dalam
berdialektika. Kehebatan Jun selalu memojokkan lawan bicara sampai kehabisan
kata-kata.
“Intinya
saya meminta ini harus dirembuk dulu, saya mau Walikota, Guberner, Menteri,
Presiden hingga Pak Rt beserta anaknya, suruh menghadap saya. Saya kecewa karena
tidak ada pembicaraan diawal dan mengapa hanya gedung ini yang dibebaskan,
sedang arah jalan tolnya kan lurus kedepan sana (sambil menunjuk arah barat),
kalau memang lokasi ini dijadikan jalan tol, maka jalan tol nantinya berbentuk bengkok
dong,,,eechh maksut saya,,iya yaaa bengkok kan. Kalau lurus gini kan lebih
jooosss...” tegas Jun dengan nada tinggi.
Petugas
pembebas lahan tidak banyak menanggapi Jun yang terus nerocos, ia langsung bergegas pergi. Jun merasa sedikit terhibur
bisa membuat kesal pria bertubuh kekar dan berabut gondrong barusan. Namun
perasaan yang sedang ia alami tentang Menik tak kunjung usai. Ia terus
terbayang dan menanti harapan Menik akan menghampirinya. Matahari tampak
melambaikan sisa sinarnya berupa mega merah. Rembulan dan bintang-bintang sudah
mulai menampakkan dirinya. Jun merasa mempunyai kawan baru berupa hiasan
semesta.
“Apakah
ini yang dinamankan jatuh cinta?, peristiwa macam apa ini, jatuh cinta kok
sampai aku lupa kalau dia itu tidak mungkin datang menghampiriku. Pertama kali
aq melihatnya, mengajak kenalan, berkomunikasi, bahkan pernah hilang kontak,
baru saja kemarin aku mendapatkan kabar tentang dia dari Facebook, aku kan
berniat baik untuk mengajak jalan-jalan keluar, menikmati warna-warni lampu
kota, indahnya hiasan pohon gelombang cinta, dan sejuknya beringin tua di depan
balai kota. Aku memulai mengajak ketemuan di perempatan jalan depan pasar.
Tanpa banyak alasan dia berkata “Maaf
Jun, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu saat ini”. Apa perempuan itu suka
mencari momentum yang tepat ya?. Padahal persiapan sudah aku lakukan secara
maksimal hemmm..wanita...wanita...wanita... kau hantu membuat hati dan perasaan
melempem tak berdaya. Kau diam aku sudah terpana, kau senyum aku terpesona,
tapi jangan kau senggol dulu, nanti aku bisa siaga.” Ungkapan hati Jun bayangannya
tepusat terhadap Menik.
Hari-hari
terus berlanjut, Jun terus terbayang sosok Menik yang menurutnya sangat
fenomenal. Ditamah masalah gedung besar tempat tinggal Jun akan segera di
ratakan oleh pembangunan jalan tol. Perasaan Jun sangat terpukul, ia mencoba
pergi ke suatu tempat ketika ia pernah mempunyai masalah besar untuk
menenangkan diri. Tempat yang sering Jun jadikan meminta petunjuk dari Tuhan.
Di pinggir sungai Jun duduk bersila ditemani sebungkus rokok andalannya Dji Sam
Soe. Tak ada aktivitas apapun selaun menghisap rokok. Tampak dari sebrang
sungai sosok Pak Tua datang dengan menata perahu rakit yang hendak akan
dikendarainya. Jun beranjak dari tempat duduknya mengamati dengan serius sosok Pak
Tua diseberang sungai.
“Pak
Tua,,” teriak Jun sambil melambaikan tangannya.
Pak
Tua hanya membalas dengan lambaian tangan dilanjutkan mendayung perahu rakitnya
yang siap menghampiri Jun.
“Pak
Tua hati-hati,,arusnya sangat deras” teriak Jun kembali
Pak
Tua pun tiba ditepi sungai, Jun segera membantu untuk mendaratkan perahunya ke
tepi. Dengan sigap Jun membantu Pak Tua turun dari perahu, langsung mengajak ke
tempat duduk Jun. Pak Tua merapikan bajuya yang sebagian basah, sambil membantu
Pak Tua Jun menata tempat duduk Pak Tua yang hanya ada potongan besar kayu
berserakan.
“Pak
Tua mau pergi kemana,?” tanya Jun
“Ada
urusan sebentar yang harus aku selesaikan di desa sebrang.” Jawab pak tua datar
“Sebaiknya
Nak Mas tunggu disini saja jika perlu membecirakan sesuatu, nanti akan aku ajak
kawanku. Kemungkinan dia bisa membantu kamu menyelesaikan masalahmu.” Sambung
Pak Tua sambil beranjak pergi meninggalkan Jun.
Jun
agak seperti orang heran karena Pak Tua bisa menebak perasaan yang sedang Jun
alami, ia hanya mengangguk setengah tidak sadarkan diri setelah Pak Tua pergi.
Jun merasakan hidupnya akhir-akhir ini penuh dengan misteri tersebunyi. Ia tak
pernah menyadari jika ia akan datang ke tempat dimana ia terakir mengunjunginya
waktu kecil sedang tertimpa musibah.
Ia
pernah menggoreskan isi hatinya diantara batang pohon sekitar tempat duduk Jun.
Sambil menunggu Pak Tua kembali bersama kawannya, ia mencoba mencari bekas
goresan sejarah yang pernah ia tulis di pohon. Berjam-jam ia mencari, hingga
pada akhirnya mendapatkan sebuah petunjuk.
“Apa
mungkin ini ya, keyakinan saya mengatakan disini, tapi ingatanku masih
meragukannya. Semoga saja masih bisa dibaca” ucap Jun dalam hatinya.
Sampai
pada akhirnya ia menemukan jawaban dari petunjuk yang ia dapat. Saat usai
menuliskan kata-kata disebuah pohon, Jun meninggalkan sesobek kain merah sebagi
tanda. Ia mendapati sesobek dari sobekan kain yang hampir habis dimakan hama.
Tak perlu waktu lama ia pelan-pelan membaca dengan lantang dihadapan pepohonan,
rumput, dan sebelah Jun sungai dengan derasnya aliran dari hulu.
“Orang kuat akan kuat usai ia
melemahkan, orang hebat akan hebat setelah ia menindas, orang kaya akan kaya
kitika berkuasa ditengah kemiskinan, sang juara akan menang setelah ia berhasil
menaklukan lawannya, orang benar akan tampak saat ia mengemban amanah Tuhan,
dan orang serakah terlihat ketika ia mengaku dia adalah Tuhan. Aku muak tinggal
di bumi bersama mayoritas orang serakah. Apalah daya aku hanya debu yang berserakan
diantara samudara, aku hanya penghuni sementara yang bisa diusir setiap saat
dari tempat tidurku. Satu hal suatu saat nanti aku bisa menjadi penghuni baru,
menghuni di hati wanita yang akan mengarahkan aku kebali ke tempat ini.”
“Dan
kamu lah orang bertahun-tahun tidak pernah bertanggujawab atas sikapmu yang
menjadi penghuni hati dan perasaanku. Aku tersiksa dengan cinta yang semu dan
samar, cinta yang hanya menjadi sebuah harapan, cinta yang tak pernah
menunjukkan kepastian, dan cinta yang hanya bisa mengeluarkan tetesan air mata
setiap malam. Hanya angin yang setia kepadaku mencari sosok tak jelas seperti
Jun” Sahut suara wanita dari belakang Jun.
“Aku
tidak pernah mengundangmu kemari, kau masih merasa berhutang pada malam itu.
Aku berharap sekali kamu datang membalas atas penolakanmu kepadaku. Memang
kebiasaanmu itu tidak pernah diundang tiba-tiba datang. Memangnya kamu masih
saudara dengan jelangkung?” Timpal Jun membalas ucapan wanita tersebut
“Aku
hadir sebagai rumah yang siap engkau tempati, siap engkau kuasai, tapi bukan
untuk engkau kotori”. Jawab Wanita sambil memegang pundak Jun.
Jun
mulai tampak tersenyum pelan-pelan, perasaan gembira sangat menyelimuti
dirinya. Hingga pada akhirnya kawan-kawan Jun merasa heran menyaksikan Jun
tidur yang semula ngorok berubah menjadi senyum-senyum layaknya orang sedang
bermimpi.
Semarang, 20/06/2017
Penulis,
Ahmad Ali Zainul Sofan
Komentar
Posting Komentar