Pengajian Sebagai Kekuatan Bangsa Indonesia
Ilustrasi |
Umat
Islam di Indonesia sebagai salah satu umat Islam terbesar di dunia, sejarah
panjangnya dan kekuatan dalam wadah Binekha Tunggal Ika mampu mewadahi
keanekaragaman bentuk masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Kedatangan Islam
sejak abad 7 Masehi menuai kesulitan untuk diterima di Indonesia, karena masih
kuatnya kepercayaan lokal dengan nilai kebudayaan yang tinggi. Harus dibutuhkan
kekuatan khusus dari Allah sehingga datanglah gerombolan ulama atau auliya pilihan
untuk menaklukan ganasnya Pulau Jawa. Tidak butuh waktu lama ketika Walisongo
melakukan Islamisasi di Pulau Jawa, hanya butuh 3-4 tahun masyarakat
berbondong-bondong memeluk Islam. Kegigihan dan daya cipta para wali
pelan-pelan meramu ajaran Islam dengan menyusupkan kebudayaan yang sudah ada.
Disitulah kekuatan Islam di Indonesia.
Kalau
Nabi Muhammad pertama kali memperkenalkan Islam melalui keluarganya,
sahabatnya, hingga para penguasa kerajaan, wajar ketika tantangan Nabi Muhammad
jauh lebih berat. Dari kesendiriannya memegang ajaran Islam dari Allah Swt
ditengah-tengah orang kafir maka beliau memiliki cara untuk lebih mudah bisa
diterima masyarakat pada umumnya. Hal tersebut ditiru para penerusnya dengan
cara mengakulturasikan budaya setempat dengan ajaran Islam, sebenarnya hampir
ada kemiripan, ajaran yang sudah ada dengan Islam. Sejak mulai Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa sampai Muhammad adalah Tauhid. Jalan atau masa yang berbeda
saja penerapanya beraneka ragam. Kekuatanya adalah mewarisi ajaran terdahulu
yanagng sudah ada, walaupun ada penyempurnaan pada masa Nabi Muhammad, berupa Liutammima Makarimal Akhlaq.
Agama
sebagai pondasi utama dalam sebuah bangsa maupun negara sehingga kekuatan
bahkan benteng terakirnya dalam mengambil kebijakan maupun keputusan agama
harus menjadi poin utama. Tidak jarang para penguasa pemegang kekuasaan
melibatkan Tuhan dalam hal ini berdasar pada pokok pedoman ajaran agama dalam
mengambil kebijakan. Di Indonesia sudah menjadi hal yang biasa mengenai hak
itu. Mulai dari tingkat Legislatif, Eksekusi, dan Yudikatif sekalipun terlihat
hanya sebagai alat untuk berebut kakuatan jabatan, bukan kekuatan bernegara.
Pedoman agama hanya dipakai sebagai formalitas kalau semua berdasarkan ajaran
agama, seprti pengambilan sumpah jabatan dengan kitab suci berseta kiainya.
Selanjutnya subtansi dari tugasnya hanyalah serang-menyerang, tindas-menindas,
pukul kanan-kiri, dan seterusnya.
Kekuatan
bangsa Indonesia sebenarnya bukan pada pemerintahnya, TNI, Polri, atau
intelegennya, melainkan rakyatnya yang mempunyai jiwa spiritual dan kepercayaan
tingkat tinggi terhadap agama. Rakyat Indonesia mudah memaafkan siapapun, dan
sulit untuk dihabisi. Identifikasi mengenai kekuatan yang seprti apa sangat
mudah untuk mendapatnya datanya. Model pengajian seperti yang dilakukan di desa
itulah sebenarnya kekuatan yang selama ini ingin dihancurkan oleh kelompok
tertentu. Nilainya adalah berkumpul bersama, membentuk kekeluargaan bahkan
puncaknya saling melindungi dan mengamankan satu sama lain. Formatnya sama
seprti halnya para penguasa membuat apa itu seminar, simposium, dialog,
monolog, dan lainnya, tetapi nilai estetikanya sangat berbeda jauh. Letak titik
utama ada pada proses untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pengajian
akar katanya adalah aji, dalam bahasa
Jawa, aji merupakan martabat atau harga diri manusia. Dalam pengajian selain
selalu mendekatkan diri kepada Tuhan adalah mencari kembali martabat manusia,
selama ini manusia tidak banyak yang sadar akan pentingnya martabat. Seorang
pegawai pabrik yang melakukan demo mengenai gaji yang tidak sesuai itu wajar
karena martabat mereka sebagai manusia diinjak-injak, walapun slogannya untuk
menaikkan gaji. Perempuan yang diperkosa yang pertama narah adalah orang tuanya
atau suaminya, bukan masalah alat vitalnya yang dirusak, malinkan martabat
perempuan diremehkan secara ilegal dan ngawur. Dalam pengajian selalu
ditekankan poin-poin utuk mempertahankan martabat atau harga diri, disitulah
sebuah bangsa akan menjadi kuat, kalau rakyatnya mempertahankan harga dirinya
sebagai apapun saja, maka mereka tidak bisa diInjak-injak, tapi mereka juga
mudah menerima siapa saja dan memaafkan siapa saja.
Sekian
puluh tahun para kiai selaku unsur utama dalam sebuah pengajian mengajak para
umatnya ke jalan Tuhan dengan metode yang bermacam-macam. Poinnya adalah
mengajak, walaupun Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah mengadakan pengajian.
Tidak ada dalam sejarah Rosululloh mengdakan Pengajian Akbar dalam rangka tahun
Baru Hijriah, Rosululloh dalam praktek misi Islam hanya membantu orang yang
merasa mempunyai kelainan dalam keberagamaan dituntun ke jalur utama. Sejak
awal memamng Rosululloh sudah mempunyai dan mempertahankan martabatnya. Maka
sentuhan dingin beliau dalam mengajaka orang ke Jalan Tuhan membuahkan
hasilnyang manis, Sayyidina Umar bin Khattab awalnya penentang Islam, setelah
mendapat martabat Rosululloh menjadi komandan kopassus Islam.
Krisis
martabat bangsa Indonesia menjadi problem besar dalam dirinya. Para ahli agama
juga tidak sedikit yang mengajak para umatnya, melainkan mereka banyak
menyuruh, menuntut, hingga mengadili orang, kalau tidak solat neraka alan
menjadi tempatmu. Hal seperti ini merupakan sebuah alat untuk memecah belah
bangsa Indonesia. Poinnya bukan harga diri tetapi eksistensi individu. Untuk
mengurai semacam ini hanya konsep dasar kita sebagai bangsa. Jangan hanya
pancasila sebagai idiologi tatapi harus menjadi perisai. Fungsi utamanya dalah
untuk membendung serangan lawan, jangan jadikan perisai sebagai alat utuk
memukul saudara sendiri yang belum faham mengenai pancasila. Jangan-jangan
orang yang sudah faham tidak mengerti untuk membendung serangan lawan atau
kawan?, justru masyarakat yang sudah terbiasa pengajian itulah secara lahiriah
ia sudah menjadi bagaian dari pancasila, bakan mengamalkannya secara
pelan-pelan.
Pengajian
sebagai kekuatan utama bnagsa Indonesia bukan sebagai alat politik penguasa,
bukan juga sebagai gerakan nasional untuk melawan penguasa, apalagi untu
membentuk negara sendiri, bukan itu semua. Mereka secara lahiriah rela menjadi
benteng terakhir setelah TNI, apalagi seiring negara ini kacau gara-gara
suasana politk, sehingga muncuk serangan tak terduga yang akan melukai bangsa
indonesiar. Bukan penegak hukum yang menyembuhkannya, bukan polisi yang mengobatinya,
bukan pula pemerintah yang menyelesaikannya. Rakyat yang mempunyai martabat lah
sudah siap untuk bertindak, bukan melawan, melainkan mengajari para penguasa
untuk mempunyai martabat dalam sebuah berbangsa dan bernegara. Kuncinya ada
pada rakyat, pengajian sebagai wadah untuk membentuk kekuatan besar, tidak usah
pakai rudal atau nuklik untuk menghancurkan bangsa Indonesia, hancurkan wadah
pengajian mereka selesai sudah, perlu diingat bahwa bangsa Indonesia pemaaf
kepada siapa saja, tepai ia juga tidak akan diam ketika harga dirinya dilukai.
Seorang beragama Islam, tatapi dia jarang solat, mabuk sebagai rutinitas,
ketika ada orang menghina Nabi Muhammad Saw ia yang pasang badan didepan.
Itulah martabat bangsa Indonesia berfikir lah kepada siapa saja yang ingin
mengusiknya.
Penulis
Ahmad Ali Zainul Sofan
(Cah Jatirogo, Mahasiswa KPI UIN Walisongo)
Komentar
Posting Komentar