Karakter “Mbandrek”


Menyaksikan demo para pekerja pabrik dengan menuntut untuk menaikkan gajinya selalu mudah dijumpai di Indonesia. Apalagi setiap peringatan hari buruh long march dimana-mana, rata-rata mereka merasa haknya atas kebutuhan yang harus dipenuhi tidak seimbang. Memang dalam tataran hidup manusia selalu mempunyai sifat selalu kurang dalam takaran yang sudah digariskan oleh Allah Swt. Akan tetapi hal tersebut selalu meleset dari perhatian kebanyakan orang, apalagi para buruh yang selalu mnyuarakan aspirasi mereka.

Tidak hanya itu saja, para mahasiswa bisa saja ikut andil dalam permasalahan tersbut, sebab mendengar gencarnya media massa yang memberitakan ketidak adilan sebuah perusahaan atas upah pekerjanya. Sekalipun mereka (mahasiswa) tidak terlalu faham akar rumput masalah yang sedang dihadapi, yang penting mereka ikut aksi turun jalan menyuarakan kelompok yang merasa tertindas. Tidak ada topik lain ketika para buruh turun ke jalan selain meyuarakan gajinya untuk dinaikkan.

Apalagi setiap perusahaan swasta skala besar 70% kepemilikan sahamnya dipegang oleh asing, beberapa negara kuat yang tersebar di lima benua berhasil masuk ke Indonesia dengan mengambil bagian dari hasil produksi yang dikelola di Indonesai. Sebut saja seperti Freeport yang sering kali menjadi perdebatan sengit di negeri ini. Hak kepemilikannya depegang oleh Amerika, sehingga Indonesia hanya mendapat 5% dari total produksi tambang. Belum lagi di beberapa wilayah Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jawa, dan lainnya. 

Memang secara pendapatan sumber daya alam yang sangat melimpah ini Indonesia menjadi incara dan rebutan negara-negara yang hanya mengandalkan teknologi pengelolaan yang sudah cangging. Hasil bumi Nusantra yang diproduksi menggunakan alat milik Amerika bisa menjadi tembaga, perak, bahkan tidak sedikit yang menghasilkan emas. Logam mulia yang mempunyai nilai jual tinggi itulah terpaksa dilarikan keluar negeri dengan nilai jual tinggi, setelah itu dikembalikan lagi ke Indonesia dengan harga yang fantastis.

Persoalan yang tengah dialami Indonesia bukan hanya permasalah tambang dan buruh pabrik, hal yang medasar adalah masalah keadilan dan pemerataan hak kesejahteraan yang sudah dijamin oleh UUD. Konstitusi yang hanya menjadi hiasan bahwa bentuk negara hukum semua warganya harus mentaati. Bukan berarti semua orang diduniaharus taat, sebab mereka (pemilik modal asing) tidak tercatat di Disdukcapil wilayah NKRI.

Kompleksitas permasalah yang sedang terjadi mengakibtakan beberapa kelompok yang merasa sejak lama terinjak oleh sistem terpaksa mengeluarkan reaksi kedzaliman yang sedang mereka hadapi. Aksi 212 menjadi alasan mereka bahawa sistem yang selama ini dianut bukanlah yang tepat untuk diterapakan. Lantaran bom waktu dari mulut seorang yang dijadikan peluru para penguasan kapital, para singa-singa terpaksa bangun dari tidurnya dan mengaung-ngaung sampai menjebol kandang.

Siapa yang salah dan siapa yang benar belum bisa teridentifikasi secara detail, akan tetapi ijtihad untuk mencari sebuah peristiwa yang bisa diterima secara bersama terus menerus dilakukan suapaya titik simpulnya terlihat, sehingga dari sebuah akar masalah sampai problem slovinya terpecahkan. Hanya beberapa glintir orang saja yang pedulu akan ijtihad mencari sebuah cahaya gemilang. Hampir kebanyakan orang sudah merasa mempartahakna kebenaran yang terdzalimi tanpa mereka berijtihad, maka yang terjadi adalah pertentangan denga mempertahankan kebenaran masing-masing.

Para buruh yang hidupnya hanya bergelut dengan teknologi asing guna memproduksi bahan mentah menjadi bahan matang siap edar juga tidak mempunyai wewenang untuk mengaktualisasikan kehendaknya, mereka harus twerikat oleh sistem dan aturan yang berlaku pada pabrik ia bekerja, dengan gaji UMR mereka siap perang sampai titik darah penghabisan.  Tidak semua pabrik yang menggaji buruhya dengan UMR, ada juga yang menggaji lebih tinggi sesuai dengan daya jual barang yang diproduksinya. Gaji buruh pembuat tempe mustahil lebih tinggi dari penambang freeport. 

Gejala yang timbul dalam masyarakat dengan profesi pekerja tersebut adalah kecemburuan sosial atas kehidupan yang mereka tampilkan. Ketika buruh pembuat tempe akan selalu iri melihat kehidupan penambang freeport yang miliki mobil, rumah mewah, berkehidupan serba mewah. Maka si buruh tempe ini akan melakukan kemungkinan yang berakibat profokatif. Pada saat makan nasi goreng hatinya selalu tertuju poda ayam soto, hasilnya makan pun tidak akan terasa nikmat.  Padahal kenikmatan itu terletak pada saat kesesuaian hati dengan apa yang dilakukan pada saati itu juga.

Seringkali kita jumpai didalam masyarakat hal-hal yang bersumber dari kecemburuan sosial dengan efek perilaku instan. Hal-hal yang mudah dilajukan tanpa memprhatikan dampuk buruk secara jangka pajang. Praktek-praktek seperti pemalsuan, plagiat, penipuan seringkali timbul dari masalah yang tidak seharusnya dilakukan. Allah tidak melihat hasil dari apa yang dilaukan hambanya, akan tetapi yang dinilai adalah proses kerja keras yang hasilnya akan ditentukan sesuai dengan kapasiatas.

Banyak hal yang sudah terjadi, misalnya baru menjadi anggota DPR pada saat rapat membahas anggaran yang nilainya sangat tinggi, merasa mental dan mentalnya tidak kuat, korupsi yang terjadi. 5,8 T untuk anggran E-KTP saja hilang entah kemana, sehingga rakyat merasa serba salah, dituntuk untuk tertib sebagi warga negara, akan tetapi hak mereka sebagai warga negara diasalah gunakan. Belum lagi ditambah drama yang diperankan para tikus-tikus yang melibatkan tukang bakpao dan tiang listrik.

Mrosotnya krakater manusia zaman now inilah biukti bahwa keadaan zaman yang diikat oleh sitem ketidak adilan memaksa manusia berbuat hal-hal yang keluar dari garis yang tengah ditetapkan oleh syariat agama dan undang-undangnya. Seorang yang lupa menaruh kunci rumahnya sehingga ia tidak bisa masuk, akhirnya dengan segala cara apapun saja ia harus memaksa dirinya masuk rumah, tanpa harus berusaha mencari kuncinya. Mbandrek seringkali mereka lakukan pada saat situasi sudah terpaksa, tak perlu memperhitungkan akibat buruk selanjutnya.

Karakter mbandrek memang sudah biasa dilaukan oleh bangsa kita, peristiwa tersebut bisa jadi muncul akibat rasa gelisahnya melihat keadaan sudah memungkinkan. Padahal dalam permasalahan ada pencarian jalan keluar tanpa harus Mbadrek. Keteledoran yang sudah terjadi adalah tidak hanya mbandrek pintu rumahnya sendiri, melainkkan sudah mencoba mbandrek pintu rumah orang lain.  

Penulis,
Ali Zainul Sofan

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe