Lupa Bapak Lupa Ibunya


Thomas Stamford Rafles menulis The History of Java mengungkap beberapa peniggalan yang sudah berserakan, seripihan batu-batu candi, dan benda-benda pusaka sisa-sisa peninggalan kerajaan yang hampir detail dalam penelitiannya. Gubernur Inggris inilah sampai berani mengungkapkan “Tidak banyak orang yang tahu tentang Jawa seperti yang aku tahu”. Rasanya sangat aneh memang, jika seroang dari negeri yang sangat jauh dari Jawa mampu menorehkan hasil karyanya sehingga dijadikan rujukan para sejarawan nasional. Antonio Vigaveta, Ma huan, Tommy Pires, dan beberapa ilmuan yang pernah mencatat sejarah akan perjalanan bangsa Nusantara yang dijadikan sumber refresi para peneliti, mahasiswa jurusan sejarah tentang gelaja-gejala yang pernah terjadi.

Sebagai pewaris utama prestasi yang pernah ditorehkan oleh leluhur sendiri, seharusnya bangsa Indonesia harus mampu untuk mencari harta pusaka yang sudah lama terkubur untuk kemaslahatan bersama. Akibatnya kita beranggapan bahwa mereka (orang asing yang meneliti tetang leluhur Nusatara) atas jasanya kita bisa mengetahui dan mengenal siapa sebenarnya leluhur kita sendiri. Maka yang terjadi adalah kita belajar kepada orang-orang asing itu tanpa kita belajar secara langsung kepada jatidiri sendiri.
Hampir se-abad merdeka, Indonesia terlahir dari bapak-ibu yang tidak jelas identitasnya. Maksudnya, kemerdekaan yang telah kita raih itu hasil dari sebuah penjajahan. Tanpa adanya penjajahan belum tentu Indonesia berdiri tegaknya dengan wilayah sepertiga dunia. Sejak zaman Sriwijaya sampai Majapahit persatuan dan kesatuan bangsa-bangsa tengah terjadi, bentuk negara persemakmuran merupakan misi Gajah Mada menyatukan Nusantara. Majapahit sebaagi koordinator bahwa wilayah kepulauan inilah terikat dalam sebuah bendera Gula Kelapa.

Para penjajah yang datang ke Indonesia dengan misi perampokan besar-besaran, sehingga pada tahun 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka dari negara yang merebutkan wilayah kekuasaan jajahannya berdampak pada peristiwa peperangan besar-besaran secara berkelanjutan. Wajar saja, siapa yang rela jika tanah ibu pertiwi dijijak-ijak oleh orang asing, apalagi masyarakat masih sangat kental dengan sitem kasta. Bahwa orang asing itu merupakan kaum Sudra, bahkan ada yang lebih rendah lagi yaitu Malecca, golongan orang asing yang menjadi buruh atau pekerja.
Pada saat Bung Karno menggebu-gebu ingin menarapkan Nation State layaknya Majapahit, sehingga syair karya Empu Tantular dalam Kitab Sutasoma dijadikan semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika” mengakar sampai era melenial dan mampu dipertahkan, sampai ada yang menetang semboyan yang tersematkan dalam pancasila ini akan berhadapa langsung dengan seluruh rakyat Indonesia.

Fenomena unik yang terjadi pada dekade ini selalu menjadi perdebatan menarik, ketika kelompok satu ribut mempermasalahkan Pancasila yang tidak ada hubungan dengan Islam dan negara ini harus diganti dengan sistem Khilafah, sedang kelompok lain menentang keras dan mempertahankan Pancasila sebagai idiologi, menandakan bahwa bangsa ini sama sekali tidak mengetahui asal-usulnya. Terlepas sengketa konflik dari kampanye dan adu domba luar negeri.
Peberdaan pendapat memang dibolehkan dalam UUD 1945 dan Islam sebagai mayoritas penganut agama di Indonesia. Tetapi yang seringkali fatal adalah mempertahankan kebenaran kelompoknya, tidak ada titik temu, bahkan tidak pernah duduk bareng membahas soal Khilafah dan Pancasila. Diantara mereka ngotot bahwa penadapat mereka adalah benar dan harus diterapkan. Jika itu yang dipertahankan kebenaran, dan kebenaran yang menghasilkan pertentangan, permusuhan, perkelahian, buka kebenaran yang sejatinya mereka pertahankan, akan tetapi tipu daya Dajjal yang mereka nikamti atas nama kebenaran. Jika saling mencari kebenaran maka yang terjadi adalah kedamaian, keharmonisan, kerukukan.

Pastilah diantara mereka yang berdebat itu mempunyain kapasitas intelektual diatas rata-rata. Seharusnya jika mereka menyadari akan kemampuan yang mereka miliki dan sebagaiaman harus digunakan, alangkah baiknya jika digunakan dalam rangka mencari bagaimana dahulu sistem negara yang diterapkan oleh nenek moyang sehingga dikatakan sebagai negara yang sangat dihormati seluruh belahan dunia, bahkan Mongol salah satu negara yang tidak terkalahkan oleh negara manapaun kecuali oleh Singosari, dirobek kuping dari utusan Kubulai Khan oleh Kertanegara, selanjutnya pasukan Kubilai Khan tunggang langgang digempur oleh pasukan Wijaya saat merayakan pesta kemenangan atas serangan balasan terhadap Singosari.

Dalam tataran kebudayaan, sudah terbukti dan sangat jelas antara kebudayaan yang telah menjamur dalam masyarakat begitu sinkron dan cocok dengan syariat Islam. Atas dasar ijtihad para Walisongo, masyarakat berbodong-bondong masuk Islam tanpa harus meninggalkan tradisi luhur mereka yang sudah diakulturasikan dengan ajaran Islam. Belum lagi wilyah kesenian, cerita-cerita dalam bentuk dongeng, legenda, mitos, begitu luasnya sehingga kita belum mampu menghitung ada berapa karangan yang tengah dibuat oleh para leluhur, terlebih Sunan Kalijaga membuat karangan pewayangan guna mengajak orang memeluk Islam.

Waktu kian dibalik oleh anak-cucunya. Karangan, cerita, dongeng, legenda, sekarang dianggap itu cerita syirik, musrik, Islam tidak menceritakan hal-hal yang berbau mistis, salah sendiri engkau menciun karangan luhur dengan aroma mistis yang melekat pada hidungmu. Apakah kita sebagai orang Jawa, Sunda, Batak, yang memeluk Islam secara khusus mempelajari sejarah Nabi, Sahabat, Negara-negara Islam, tanpa harus mempelajari asal-usul daerah sendiri, itulah yang namanya berkhianat sebagi seorang nasionalis. Seorang nasionalis itu berkewajiban menjadi dirinya dan dariman ia berasal. Rasululloh kita pelajari jejak hikayatnya sebagai rasa cinta kita, akan tetapi tak ada seorang pun yang mampu menjalani kehidupan layaknya Rasululloh.

Seolah kita meniru gaya hidup Rasululloh dengan berpakaian gamis, bejenggot, celana cingkrang, dengan cara itu kita terapkan di Indonesia pastilah akan menerima resiko  budaya setempat. Rasululloh berpenampilan seperti itu karena mengikuti perilaku budaya setempat, kita sebagai orang Jawa juga berkewajiban menajdi orang Jawa. Itulah nasionalisme yang sejatinya harus dilakukan. “Walaupun sayang pergi jauh tidakkan hilang dari kalbu”, dimana pun berada, setiap kaki melangkah, tetapi kampung dan rumahku Indonesia, di sanalah aku merasa tenang.

Akar rumput yang harus diselesaikan adalah restarting karakter setiap individu merubah kepribadian yang mandiri. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki layaknya sebagai orang yang mengaku cinta tanah air haruslah mampu menggali  warisan leluhur tanpa menunggu akibat dari peristiwa alam atau faktor ekternal. Kesadaran setiap individu bangsa Indonesia haruslah tertanam sebagai anak-cucu yang tidak lupa siapa bapaknya-siapa ibunya. Sebab sekian abad kita sebagai bangsa tidak tahu orang tuanya. Kita tahu mereka (leluhur) dari informasi orang asing yang jelas mereka bagaian dari cabang-cabang keturuanan leluhur bangsa Indonesia sendiri.

Penulis,
Ali Zainul Sofan

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe